Rabu, 21 Mei 2014

memetakan kesubliman hakiki



Memetakan kesubliman hakiki
Oleh fahrizal Muhammad
(Master trainer MHMMD Trainer center)

S
uatu hari seorang teman bertanya, “Mas Rizal, bisa gak ya, aku postpone hidup?  Lagi overload, nih. Aku nyesel, Dulu aku nggak belajar sungguh-sungguh. Sekarang kerjaku serabutan tanpa masa depan. Aku sekarang sering kasar sama orang tua. Sekarang mereka sudah nggak ada. Aku khawatir,  gimana masa depan anak-anakku??”
Penyesalan masa lalu, keinginan postpone masa kini, dan kecemasan masa depan berkelindan dalam waktu kita. Sebagai makhluk berdimensi waktu, keinginan bermain-main dengan entitas waktu terasa begitu menggoda.  Namun ternyata, keluar sejenak dari putaran waktu, kembali ke masa lalu, atau menjenguk masa depan tidak (atau belum?) bisa kita lakukan. Kita dalam kesubliman hakiki terhadap waktu.
          Waktu tidak bisa diurai dari hidup kita. Kita ada di dalam dan bersamanya. Sejatinya, bersamanyalah kita menandai sejumlah titik dalam perjalanan kehidupan: lahir, ulang tahun, nikah, pindah rumah, pergi haji, melahirkan, wisuda, naik pangkat, dan lain sebagainya. Bersamanya pula kita tertawa dan menitikkan air mata.
          Dialah aset penting. Kita memiliki waktu yng sama dalam sehari. Tak seorang pun punya hak istimewa dihadapan sang waktu. Ingatlah, tidak ada orang yang diperlakukan tidak adil dalam waktu (QS. Al-faatir :35:37). Oleh karena itu, wajar bila diperuntukannya akan dipertanyakan ketika kita kembali kehadapan Allah.
          Rasulullah SAW bersabda, ”tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara: umurnya untuk ada dihabiskan, ilmunya untuk apa diamalkan, hartanya dari mana didapatkan dan ke mana  dibelanjakan, hartanya dari mana  didapatkan dan ke mana dibelanjakan, dan badannya untuk apa digunakan.”(HR. Tirmidzi)
          Sebagai aset, waktu tidak bisa dipinjamkan dan diperjualbelikan. Dialah kemutlakan dan kerelatifan. Private sekaligus public. Hubungan kita dengan waktu pun sangat unik. Kita tidak bisa seenaknya “ keluar masuk” dalam waktu. Jadi, wajar bila sejak dulu mausia teropsesi untuk “menaklukkan” dan “melipat” waktu: menengok masa lalu atau mengintip masa depan.
Life is journey
Hidup adalah sebuah perjalanan. Perjalanan yang baik adalah perjalanan dengan titik destinasi yang tegas. Kita dituntut untuk tidak memberi ruang sedikit pun terhadap godaan yang akan melengahkan kita untuk memanfaatkan waktu yang ada secara maksimal.
          Perjalanan ini sangat menarik. Pertama, ia membekali seseorang dengan sejumlah rambu tanpa paksaan. Kitab suci dan sejumlah kisah teladan menjadi kumpulan rambu tersebut. Kedua, ketidakterikatan memberi ruang pilihan yang sangat tidak terbatas kepada manusia. Perjalanan ini mesti ditempuh dengan kecerdasan dan kemurnian. Ketiga, perjalanan ini sangat berbatas waktu, dan seseorang tidak pernah tahu sampai kapan batas waktu yang tersedia. Penuh teka-teki dan misteri. Namun optimisme harus tetap dipelihara, secemas apapun hati akan ancaman ”kehabisan waktu.”
          Persoalannya sekarang, segenap simbol pada ”manual” manusia bersifat sangat universal. Oleh karena itu, setiap orang  pasti membuat blue print perjalanan hidupnya Sendiri. Membuat route yang diyakininya akan memberikan kebahagiaan. Untuk itu, mereka merasa perlu membuat sebuah peta. Peta hidup, namanya.
          Peta hidup akan memuat dua perjalanan. Pertama, perjalanan “fisik” mengarungi ruang dan luasnya bumi Allah. Inilah makna perjalanan yang paling umum. Seseorang berada dalam satu kondisi dan suasana menempuh jarak tertentu untuk mengunjungi sejumlah tempat dalam kurun waktu tertentu. Perjalanan Ibnu batutah dan Maroko, misalnya.
          Kedua, perjalanan mengarungi samudra kehidupan sejak lahir sampai meninggal dunia. Dalam perjalanan itu, kita bertemu dengan sejumlah permasalahan dan rasa, bertemu sejumlah manusia dalam berbagai relasi dan kepentingan, mengalami berbagai pergantian kondisi alam dan iklim, dan menjadi pelaku atau saksi sejarah. Akumulasi perjalanan hidup inilah yang membentuk karakter kita.
          Kini kita ditantang untuk menuliskan perjalanan itu: masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu garis lurus. Berbagai hal yang pernah singgah dalam hidup, muncul sebagai mozaik kehidupan. Berbagai simbol setiap episode perjalanan hidup, hadir sebagai medium. Jika kita merangkainya dengan keikhlasan, maka akan tampak keutuhannya. Nah, sahabatku, tunggu apalagi, mari tulis peta hidup kita! WaAllah A’lam bish-shawab.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar