Senin, 23 Februari 2015

pimpinan pusat muhammadiyah

1.
Rapat Tahun ke-1
2.
Rapat Tahun ke-12
3.
Rapat Tahun ke-23
4.
Rapat Tahun ke-26
5.
Muktamar Darurat
6.
Muktamar Ke–32 
7.
Muktamar Ke–34
8.
Muktamar Ke–35
9.
Muktamar Ke–34
10.
Fait Accompli
Muktamar Ke–38
11.
Muktamar Ke–42
12.
Muktamar Ke–43
13.
jakarta
Sidang Tanwir & Rapat Pleno
Muktamar Ke–44 
14.
Muktamar Ke–45 
Muktamar Ke–46 


http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Ketua_Umum_Pimpinan_Pusat_Muhammadiyah

Syarat laki-laki dan hak politik bagi perempuan

Syarat laki-laki dan hak politik bagi perempuan

Kita sering mendengar syarat laki-laki”dalam kewenangan dalam pembahasan ulama-ulama fiqih terdahulu dan sekarang, dengan beragam perbedaan seputar masalah itu.sebagai mana kita juga dapat menemukan syarat itu dalam kewenangan peradilan.
            Namun mayoritas ulama mensyaratkan laki-laki dalam kepemimpinan besar berdasarkan nash hadis yang berbunyi : tidak akan beruntung suatu kaum, jika yang mengurusi perkara mereka itu perempuan.
            Ketika pembahasan kita tentang “ majelis permusyawaratan” secara khusus, maka ruang lingkuup pembahasannya berkisar pada problem persamaan hak politik bagi perempuan dalam islam yang tersimpul secara khusus dalam dua masalh berikut.
1.    Hak perempuan dalam pemilu
2.    Hak perempuan dalam pencalonan diri untuk menjadi dewan legislatif.
Peneliti tema hak-hak politik wanita dalam islam pasti akan menemukan dua pendapat yang berbeda tentangnya, yang masing-masing dari dua pendapat itu bersandar dengan dalil-dalil dari al-qur’an dan sunah.
1.    Islam tidak mengakui prinsip persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik.
2.    Islam tidak menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak politiknya, sekalipun ada segolongan dari golongan-golongan yang berpendapat demikian, yang menyatakan bahwa masyarakat kita belum memiliki persiapan jika perempuan dimasa sekarang menggunakan hak-hak politik itu. Oleh karena itu, masalah ini menjadi masalah sosial yang ditentukan oleh tuntutan-tuntutan situasi dan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan politik serta pandangan-pandangan  etika dan politik. Adapun yang jelas, walaupun bagaimana keadaannya, masalah ini bukanlah masalah keagamaan atau fikih, ataupun undang-undang. Ini menurut kami.
Agar tidak menyimpang jauh, dalam penjelasan sudut pandang kami pada tema ini, kami melihat dan kami sependapat dengan mereka yag berpandapat dengan pendapat yang kedua. Perlunya menyebutkan beberapa dalil yang dijadikan sandaran untulk mereka yang berpendapat berbeda (pendapat pertama), dan perlunya kami mengutarakan perti,bangan-pertimbangan terhadap dalil-dalil itu. Perlu juga kami menerangkan kelemahan dalil-dalil tersebut dan sebab kami mengatakan bahwa dalil-dalil itu lemah.
Kami juga melihat perlunya menyampaikan pendapat kami dalam tema ini. Dieperkuat darri dalil-dalil dari al-qur’an dan sunnah yang menurut kami kuat.
Di antara dali yang paling jelas yang digunakan oleh mereka yang berkata bhwa islam tidak mengakui prinsip persamaan perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik, yang diantaranya hak dalam memilih dan hak untuk dipilih sebagai anggota legislatif.
1.      Firman Allah SWT : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian yang lain (wanita). (Q.S. An-Nisa’(34)
Dewan legislatif menempati tempat “pemimpin “ diseluruh negara, sebab dewan ini yang memegang kemudi.
Al-Maududi berkata: “sesungguhnya Al-quran tidak membatasi kepemimppinan laki-laki atas perempuan di dalam rumah, dan memimpin sebuah negara lebih berbahaya dan lebih bwesar tanggung jawabnya dibandingkan memimpin sebuah rumah. Dengan dmeikian, tertolalah  pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan hukum dalam ayat itu berhubungan dengankehidupan bebrumah tangga, tidak dengan politik sebuah nagara. Fatwa universitas Al-Azhar mengatakan bahwa syariat Islam menyamakan antara perempuan dan laki-laki dalam hal-hal yang berhubungan denganwewenang khusus dan bertindak dalam ruang lingkup urusan khususnya. Syariat islam tidak mengakui perempuan menjadi anggota parleemen sebab keanggotaan parlemen itu termasuk keanggotaan umum ini hanya untuk laki-laki, dengan catatan mereka mempunyai syarat-syarat tertentu.
Syariat islam juga tidak memberikan untuk perempuan hak ikut serta dalam pemilu, dengan dalih bahwa dibalik penetapan hak ikut serta dalam pemilu itu, ada tujuan agar perempuan dapat membuat satu undang-undang yang dapat mengakuui keanggotaan perempuan dalam parlemen. Maka, tiidak boleh membukakan jalan bagi perempuan untuk sampai kepada mendapatkan hak ikut serta dalam pemilu. Ini sesuai dengan asas yang telah ditetapkan dalam syariat dan perundang-undanganbahwa sarana untuk mencapai sesuai dihukumkan sama dengan sesuatu yang akan dicapai itu.
Dalil selanjutnya, seperti yang telah dikemukaakan oleh al-maududi, firman Allah SWT: dan hendaklah kamu (wanita) tetap dirumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang terdahulu. (QS. Al-Ahzab (33) : 33)
Ayat ini membatasi ruang kerja perempuan dengan kalimat-kalimat yang sangat jelas. Ini adalah tafsiran yang benar untuk ayat ini.
Al-maududi juga menyebutkan beberapa hadis yang menurutnya memberikan dispensasi bagi perempuan untuk tidak mengurusimasalah yang bukan politik dan hukum  yang jelas hal itu telah keluar dari ruang lingkup kerja perempuan. Seperti shalat jum’at adalah hak yang wajib ditunaikan atas stiap muslim dengan berjamaah, kecuali untuk empat orang: hama sahaya,perempuan, anak kecil dan orang yang sakit. Dari ummu athiyah, dia berkata : “kami dilarang untuk mengiringi jeenazah.”sesungguhnya apa yang diperintahkan oleh Allah kepada isteri-isteri Rasulullah SAW. Dari sopan santun dalam firman-Nya kepada mereka, juga diperintahkan kepada seluruh perempuan. Seluruh perempuan umat seperti mereka juga dalam sopan santun ini. Sedangkan firmannya yang berbunnyi  : kamu (istri-istri nabi SAW.) sekalian tidaklah seperti wanita yang lain. (QS. Al-ahzab (33):32) mkasudnya : perempuan lain tidaka ada yang bisa memandangi kalian dalam keutamaan dan kedudukan. Kekhususan kedudukan mereka ini tidak bertentangan dengan keumuman perintah Allah yang meemrintahkan mereka untuk menjaga sopan santun, yang juga diperintahkan kepada perempuan-perempuan mukmin secara umum. Terkadang al-qur’an menyebutkan  perempuan dengan jelas sebagaimana juga dengan laki-laki, dalam hal keimanan dan apa yang dijanjikan oleh Allah berupa ampunan dan pahala yang besar. Allah SWT berfirman: sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan mukmin... (QS.Al-Ahzab(33) : 35)
Walaupun begitu, firman yang ditujukan kepada istri-istri Rasulullah SAW. Tetap menjadi satu kekhususan yang dipastikan oleh jelasnya arah firman kepada mereka dan kepada perempuan-perempuan lainnya dalamfirman-Nya : hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh ubuh mmeereka. (al- ahzab (33): 59)
Dengan memperhatikan fikih ayat tersebut, kamii dapat menyimpulkan bahwa perintah AllahSWT kepada istri-istri Rasulullah SAW. Untuk selalu berada dirumah-rumah mereka dan tidak keluar tanpa ada keprluan, sebagaimana yng tercantum dalam firman-Nya : dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, merupakan perintah yang khusus untuk mereka. Maka itu tidak betul dijadikan dalil bahwa islam tidak memberi hak-hak politik untuk perempuan, sebagaimana yang dikatakan oleh mereka yang berpendapat  deikian seperti al-maududi dan lainnya.
Hal itu karena ada beberapa nash dalam kitab Allah yang jelas petunjuknya atas keikusertaan perempuan dalam perkara-perkara yang termasuk dalam perkara politik dan hukum , disamping adanya penafsiran atas firman Allah SWT : dan hendaklah kamu tetap dirumahmu, bahwwa perintah itu ada sebab hukumnya, yang dengan jelas tersirat dalam firman Allah : dan ingatlah apa yang dibacakan dirumahmu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah nabimu). (QS. Al-ahzab (33) : 34)
Qatadah dan banyak lagi selain qatadah berpendapat tentang tafsir ayat ini : “ dan hendaklah kamu ingat nikmat yang dikhususkan kepada kalian, tidak kepada orang lalin dari manusia, yakni wahyu turun di rumah-rumah kalian, tidak di rumah manusia lainnya.
Hikmah tetap tinggalnya mereka dirumah kenabian semampu mereka agar lebih banyak mengambil sunah dan mengajarkannya kepada manusia. Kita dapati riwayat-riwayat dari istri-istri Rasulullah SAW., dalam kitab-kitab shahih dan musnad-musnad yang semua itu menjadi tafsiran dan penjelasan yang memuaskan atas hikmah firman Allah SWT yang berbunyi : dan hendaklah kamu tetap di rumahmu..., serta hikmah kekhususan mereka dengan perintah itu.
2.      Sabdanabi saw.  Dalam sebuah hadis shahih  : tidak akan beruntung suatu kaum, jika yang mengatur urusan mereka adalah perempuan.
Hadis ini sangat sering diucapka oleeh mereka yang berpendapat bahwa islam tidak menyetujui persamaan perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik,ditambah dengan dalil-dalil lainnya.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian berakata: “Dua nash ini merupakan nash yang pasti, menetapkan bahwa kedudukan-kedudukan kepemimpinan dalam suatu negara, baik ittu sebagai presiden, menteri, anggota majelis permusyawaratan, tidak bolehdiserahkan kepada perempuan. Berdasarkan dalil inni, dan antara hal yang menyalahi nash yang jelas dan pasti bahwa perempuan ditempatkan pada kedudukan itu dalam daulah islamiyah, atau diberikan jalan untuk mencapai itu. Sebuah negara yang mengaku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sama sekali tidak boleh melakukan ppelanggaran ini. Kebanyakan ulama membatasi maksud wewenang yang disebutkan dalam hadis dengan maksud: larangan perempuan memegang “wewenang besar” atauwewenang umum tertinggi”.
Diantara ulama itu adalah Ibnu hazm, dia berkata : “boleh saja perempuan memegang suatu hukum (wewenang), dan ini juga dikatakan oleh Imam Abu Hanifah. Ada riwayat dari Umar bin Khattab bahwa dia mengangkat Asy-Syifa(seorang perempuan dari kaumnya) untuk mengatur pasar. Jika ada yang berkata: bukankah Rasulullah Saw telah bersabda : tidak akan beruntung suatu kaum yang memberikan wewenang untuk mengatur urusan kepada seorang perempuan. Maka kami akan menjawab: “ beliau mengatakan itu dalam perkara umum, yakni perkara kekhalifahan. Buktinya adalah sabda Rasulullah Saw.: perempuan (istri) adalah orang yang diberi wewenang atas harta suaminya, dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang kewenangannya itu.
Ulama-ulama madzhab maliki juga membolehkan perempuan menjadi orang yang diwasiatkan dan orang yang mewakili, dan tidak ada nash yang melarang perempuan untuk memimpin atau mengatur urusan-urusan. Ath-Thabari berkata : “ perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak dalam segala hal. Siapa yang menolak keputusan perempuan berarti dia menyamakannya dengan kepemimpnan besar, dan siapa yang membolehkan hukumnya dalam masalah finansial berarti dia  menyamakan dengan kkebolehan menerima kesaksiannya dalam masalah-masalah finansial. Siapa yang berpendapat hukumnya berlaku dalam segala hal, berarti dia mengatakan : “sesungguhnya dasar hukumnya adalah siapasaja yang mampu memberikan penyelesaian masalah antara manusia maka hukumnya boleh, kecuali apa yang dikhususkan oleh ijma’ dari kepemimpinan besar. Jika pendaoat-pendapat para ulama fikih berbeda-beda seoutar keabsahan perempuan ikut serta besama laki-laki dalam mengerjakan urusan-urusan politik dan pengaturan perkara-perkara berdasarkan dalil-dalil dalam Al-qur’an dan sunah, itu karena dalil-dali tersebut adalah dali-dalil  dzanni (tidak pasti dan tidak baku)yang mengandung beberapa pemahaman yang berbeda. Hal semacam ini memang ada secara syara’ dan logika.
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa kemampuan perempuan itu kurang, dan dengan kekurangan itu dia memberikan alasan tidak adanya pesamaan perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik dalam islam, apalagi wewenang umum(kepemimpinan tertinggi), sebagaimana yang difatwakan universitas al-azhar ketika dewan fatwa berpendapat bahwa syariat islam tidak pernah mengakui perempuan mennjadi anggota parlemen, sebagaimana dewan fatwa juga tidak memberikan hak memilih untuk perempuan sebab itu membberikan jalan untuk perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Ibnu Abidin berkata : “menetapkan perempauan dalam tugas kepemimpinan tidak diragukan lagi ketidaksahannya, karena perempuan tidak memiliki kemampuan untuk memikul tugas itu.adapun yang dia maksudkan dengan kemampuan itu adalah kemampuan memimpin.
Tidak ada artinya istilah “kurang kemampuan” bagi para ahli fikih, sebab Imam Abu Hanifah sendiri membolehkan perempuan memimpin suatu peradilan dalam beberapa keadaan. juga berkata setelah itu: inilah pendapat yang jelas dari mazhab, dan sebagaimana yang telah dikatakan oleh syaikh Musthafa As-Siba’i: “sedangkantugas-tugas lain, selain wewenang umum tertinggi maka tidak ada dalam islam larangan bagi perempuan untuk memimpin, sebab adanya kesempurnaan kemampuannya.”
Adapun hadis yang menyebutkan kurangnya akal perempuan dibanding laki-laki, itu merupakan isyarat kurangnya dalam kesaksian yang tersebut dalam firman Allah SWT. : dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya.”(QS. Al-baqarah(2): 282)
Sebab, “kurang” sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat diatas adalah perempuan sering lupa dalam keadaan-keadaan biologis yang khusus pada mereka yang telah ditetapkan oleh keputusan Allah dalam penciptaan dan kehidupan, tidak seperti laki-laki.
Hal ini terbukti secara illmiah dan realita bahwa kekurangannya ini berpengaruh pada ingatan,apalagi biasanya saat dia bergelut dengan urusan-urusan finansial dan simpan-pinjam, dan lain-lain.
Ini juga adalah pengaruh fitrah dan pembagian spesialisasi dalam peran untuk kemakmuran bumi dan keberlangsungan hidup di atas bumi antara laki-laki dan perempuan. Adapun yang ingin kami tekankan di sini adalah bahwa lemahnya ingatan yang sering terjadi pada perempuan adalah sifat temprer yang bisa terjadi pada sebagian besar perempuan. Namun itu tidak berarti jauh atau dekat, kurangnya akal dengan artian secara ilmiah yang ada pada ilmu jiwa modern.  Juga tidak berarti kurangnya kemampuan perempuan sebagaimana yang disebutkan yang kami tidak yaklini akan kebenarannya. Oleh orang-orang yang dengan alasan kurangnya kemampuan itu tidak memberikan hak-hak politik untuk perempuan, dan melupakan apa yang ada dalam al-qur’an dan sunah dari tetapnya hakperempuan dalam musyawrah dan keikut sertaannya bersama laki-laki dalam membuat perundang-undanganjika perempuan itu memiliki semua syarat-syaratnya, jika keikutsertaan perempuan dalam amar ma’ruf nahi munkar, diantaranya menasihati hakim(penguasa).
Agama adalah nasihat bagi laki-laki dan perempuan secara umum dan apa yang lebbih dari sekedar nasihat, berupa tugas pengawasan atas para pejabat yang pengawasan itu satu cabang dari amar ma’ruf nahi munkar juga.
Dua tugas, berupa pembuatan perundang-undangan dan pengawasan atas wewenang atas wewenang eksekutif, merupakan tugas “umat khusus” yang diwajibkan oleh Allah atas umat umum, laki-laki dan perempuan. Untuk membentuknya. Allah SWT berfirman: dan hendaklah diantara kamu segolongan umatt yang menyeru kepada kebajikan,menyuruh kepada yang makruf dan mencegah bagi yang mungkar. (QS. Ali ‘Imran (3): 104)
Memahami hadis tidak akan beruntung suatu kaum, jika yang mengurusi urusan mereka adalah perempuan
Hadis ini merupakan hadis-hadis ahad (hadis yang hanya diriwayatkan dengan satu riwayat)yang mempunyai bentuk kalimat yang tidak jelas (zhanni). Hadis ini disabdakan bertepatan dengan satu kejadian historis teretentu, yakni ketika sampai kepda Rasulullah SAW. Berita bahwa Persia yang saat itu dalam krisis polotik dan dekadensi moral diperintah oleh seorang ratu yang otoriter dan kejam. Pertentangan-pertentangan kekuasaan sampai kepada batas perang saudara terus terjadi, sementara peperangan mereka dengan bangsa arab terus berakhir.
            Mereka menyerahkan perkara kepemimpinan dan kerajaan mereka kepada anak perempuan kisra, karena berpegang dengan khayalan-khayalan peganisme, bukan berdasarkan pendapat dan musyawarah.
            Hadis itu merupakan gambaran dari keadaan Persia yang sedang krisis, juga merupakan firasat hati dalam ketentuan Ilahi berdirinya sebuah negara dan kehancurannya. Hadis ini merupakan pemberitahuan perihal suatu keadaan dan bukan undang-undang (hukum) yang umum dan lazim. Sesuai dengan petunjuk fikih hadis.
            Maka, di sana ada beberapa indikasi yang mebolehkan pengalihan makna dari makna lahirnya atau mengalihkan keumumannya mejadi khusus.
            Mengangkat seorang pemimpin termasuk perkara politik yang tidak ada nash nya secara jelas, apalagi larangan mengangkat perempuan menjadi peminpin jika dia memiliki syarat-syarat menjadi pemimpin. Adapun yang diperintahkan adalah menyerahkan perkara kepada ahlinya dan mendahulukan orang yang lebih berkompeten daripada yang kurang berkompeten, kecuali ada penengah yang bisa disahkan.
            Perkara-perkara ini adalah perkara yang didiamkan (tidak ada komentar) perihalnya dalam hukum-hukum syariat. Dengan begitu, maka diberlakukanlah sesuai kaidah “menutup jalan kerusakan dan mencari kemaslahatan”. Hukum-hukum syariat. Dengan begitu, menurut kami tidak benar hadis itu tidak termasuk sunah undang-undang yang umum lagi lazim, namun ia hanyalah sebuah pemberitahuan tentang suatu kejadian nyata.
            Perbedaan dalam masalah ini menurut kami termasuk perbedaan yang berhubungan dengan mewujudkan tujuan dan memasukkan yang substansial ke dalam kaidah menyeluruh yang mencakupnya.
            Sesungguhnya ayat yang menyebutkan tentang perihal para pemimpin dalam kitab Allah, menerangkan kepada kita dua dasar yag harus ada dalam  weweenang besar agar perkara itu rapi dan teratur dan tidak ada di dalam ayat itu juga dalam dua dasar itu isyarat syarat “laki-laki”. Dasar pertama, menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan dasar kedua, berlaku adil dalam memutuskan hukum antara manusia.
            Allah SWT berfirman: sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanayt kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. (QS. An-Nisa’(4):58)
            Ibnu Hazim berkata: “ayat ini ditujukan dengan keumumannya kepada laki-laki dan perempuan. Para ulama berkata: ‘’ayat ini turun perihal ulil amri.” Perlu disinggung juga di sini hukum tentang pengangkatan perempuan menjadi pemimpin yang tersebut dalam hadis di atas dan apa yang dipahami oleh para ulama bahwa hadis itu menyatakan larangan menjadikan perempuan sebagai pemimpin,masih dipertimbangkan. Sebab pijakan pengeluaran itu menurut kami bukan pada pengangkatan peremppuan menjadi pemimpin, namun pada rusaknya sistem hukum pada mereka(penduduk persia) dan tidak menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya juga tidak menetapkan hukum antara manusia denagan adil, serta menyerahkan perkara mereka kepada perempuan yang tidak layak untuk memimpin. Mereka memilih anak perempuan kisra untuk menjadi pemimpin setelah kematian bapaknya. Inilah sebab tidak beruntungnya kaum yang disebutkan dalam hadis.
            Kami tidak membenarkan pendapat orang yang menjadikan pengangkatan perempuan menjadi pemimpin itulah yang menjadi pijakan hukum, sebab kitab Allah menyebutkan satu ayat yang menyalahi pendapat itu. Seperti cerita tentang keberuntungan yang diraih suatu kaum sekalipun yang memerintah mereka seorang perempuan, yakni dalam cerita kerajaan saba’ dan ratu mereka yang bernama Balqis, dalam surah an-Naml.
            Sebab keberuntungan mereka telah dijelaskan oleh beberapa ayat, diantaranya sistem mereka yang diberi dua kaidah, yakni musyawarah dan keadilan, dan kaidah lainnya yang dapat menegakkan kerajaan dan memakmurkan rakyat.
            Tidak benar pendapat yang mengaatakan bahwa apa yang disebutkan dalam hadis tentang menjadikan perempuan sebagai pemimpin adalah sebuah penjelasan baru dari suanh terhadap apa yang disebutkan al-Qur’an secara global, juga bukan perundang-undangan umum. Namun itu adalah pemberitahuan dari Rasulullah SAW. Tentang perihal kejadian nyata. Allahu A’lam.
3.      Sabda Rasulullah Saw: aku tidak pernah melihat diantara orang-orang yang kurang akalnya dan agamanya yang dapat lebih menarik hati seorang laki-laki dari kalian(para perempuan).lalu ada seorang perempuan yyang bertanya :”wahai Rasulullah, kurang akal dan agama itu bagaimana maksudnya?”
Rasulullah Saw menjawab : kurang akal maksudnya kesaksian dua orang perempuan sebanding dengan kesaksian satu orang laki-laki. Inilah yang dimaksud dengan kurang akalnya.sedang kurang agama maksudnya, dalam beberapa malam dia tidak bisa melakukan shalat dan dalam beberapa hari dia tidak boleh berpuasa di bulan ramadhan. Inilah yang dimaksud dengan kurang agamanya.
Kurang akal adalah sesuatu yang terjadi secara fitrah dan secara temporer akibat pengaruh dan situasi yang datang, seperti datangnya menstruasi, atau masa-masa nifas, atau dalam beberapa masa kehamilan. Oleh karena itu, hal semacam itu dianggap sebagai suatu kekurangan yang datang tiba-tiba yang bersifat khusus dan tidak berlangsung lama, dan sebab itu tidaklah samar dalam kehidupan biologis, sosial, mentalitas, dan emosional.
Mirip dengan hal itu, lemah ingatan perempuan disaat-saat seperti yang telah kami sebutkan dahulu, dari situasi-situasi mendadak yang khusus dialami oleh perempuan. Itu semua merupakan sebab hukum syar’i dalam kurangnya kesaksian perempuan dibanding kesaksian laki-laki dalam firman Allah SWT. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. (QS.al-Baqarah(2) : 282)
Jelaslah bahwa syarat kesaksian kaum perempuan seperti ini karena lemahnya kal mereka, bukan karena lemahnya agama. Maka diketahui juga bahwa adilnya kaum perempuan setara dengan adilnya kaum laki-laki, dan kurangnya akal mereka-lah yang mengakibatkan kurangnya adil mereka.
Adapun pendapat yang kuat menurut kami bahwa pembicaraan mereka tentang akal sebenarnya tentang “ingatan” bukan “kesadaran”. Perbedaan itu memberitahukan kepada kita setelah adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan apa yang dirincikan dalam “ilmu jiwa”perihal kemampuan-kemampuan akal dengan beragam macamnya.
Ibnu Qayyim berkata : “perempuan yang adil seperti laki-laki dalam kejujuran, amanah dan keagamaan, kecuali ketika ditakutkan terjadi kelupaan, maka diperkuat dengan perempuan lain yang juga adil. Adapun yang demikian itu menjadikannya lebih kuat dari satu atau dua laki-laki.
Adapun mengenai kurang agama yang disinggung dalam hadis adalah hanya dalam hal ibadah sebagaimana yang digambarkan oleh hadis, dan inipun sifatnya temporer serta bukan sebab perempuan itu sendiri, namun itu sebenarnya suatu perkara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atas kaum perempuan, berdasarkan hikmah-Nya. Firman Allah swT : ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, tuhan semesta alam. (QS. Al-A’raf(7):54) firman Allah SWTjuga apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan dia maha halus lagi maha mengetahui. (QS. Al-Mulk (67) : 14)
Hal yang penting, hadis ini petunjuknya sudah amat jelas, yakni apa yang disebutkannya itu hanya terbatas pada kurangnya fungsi akal dan kurang ibadahnya karena ada sesuatu yang telah Allah tetapkan atas mereka kekurangan itu adalah kekurangan yang bersifat mendatang dan temporer yang tidak mengurangi nilai keagamaannya dan tidak mengurangi kemampuan akalnya, juga keadilannya.
Itulah maksud yang diungkapkan oleh ibnu Hazm dalam perkataannya : “ini tidak berarti mengharuskan kurangnya keutamaan, kurangnya agama dan akalnya dalam hal-hal yang selain hal ini (ibadah dan fungsi akal). Sebab, kita telah mengetahui bahwa kaum perempuan yang lebih utama (lebih baik )dari begitu banyak lakilaki, juga lebih sempurna agamanya dan akalnya dari mereka. Maka, yakin benar apa yanng dimaksudkan dalam hadis itu adalah hanya dalam hal kesaksian dan kurangnya ibadah karena masa haid, dan itu tidaklah mengurangi keutamaan.”
Barangkali apa yang kami sebutkan dalam hadis ini, dalam fikih hadis dan petunjuknya dapat membenarkan kita untuk mengatakan salah kepada orang yanng berpendapat bahwa islam menolak prinsip persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik, dan Islam menengah akan hal itu. Diantaranya adalah hak mencalonkan diri dan hak memilih.
4.      Ijma’ atau kejadian-kejadian historis dahulu : di antara dalil yang dikemukakan oleh mereka yag berpendapat bahwa tidak ada persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik dan menengahnya dari “kepemimpinan tertinggi” adalah bahwa kejadian-kejadian historis dahulu dan perkara yang berlaku pada kaum muslimin di masa awal islam tidak pernah mengenal perempuan masuk dalam anggota Ahlul Hilli wal aqdi, sekalipun diketahui keikutsertaan mereka dalam memberikan usulan atau mengoreksi khalifah, dan hal itu (perempun tidak masuk dalam anggota Ahlul Hilli wal aqdi) dianggap sebuah ijma’ sebelum ijma’ itu dikenal oleh ulama-ulama ushul sebagai sumber hukum setelah al-quran dan sunah, yakni ijma’ Ahlul Hilli wal aqdi.
Ijma’ umat dapat menjadi hujjah (dalil), dan ketika tidak ada alternatif lain untuk mengumpulkan seluruh individu rakyat, maka itu bisa terwakili dengan beberapa orang yang mewakili rakyat, maka itu bisa terwakili dengan beberapa orang yang mewakili rakyat. Ijma’ diberlakukan dalam perkara-perkara yang tidak ada nash-nya, dan ia adalah kesepakatan para pakar dalam perkara yang mengandung kemaslahatan. Namun para pakar ini harus menyandarkan argumentasi mereka kepada dalil-dalil dari alqu’an dan sunah yang mereka anggap sebagai sandaran yang benar yang memutuskan bahwa perempuan tidak mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam hak-hak plitik, baik haknya untuk memilih atau haknya untuk menjadi anggota parlemen, atau haknya pada tugas-tugas yang berhubungan dengan kewenangan pemerintahan seperti kementrian, apalagi kepemimpinan sebuah pemerintahan seperti presiden, ataupun seperti yang diungkapkan oleh Al-Maududi: “ini adalah dua hadis yang sudah pasti yang memutuskan bahwa jabatan-jabatan kepemimpinan dalam sebuah negara, baik sebagai presiden, menteri atau anggota majelis permusyawaratan, ataupun dalam beragam administrasi kemaslahatan pemerintah, tidak boleh diserahkan kepada perempuan. Dengan demmikian dan diantara sikap menyalahi nash-nash yang jelas bahwa perempuan diberikan hak pada jabatan-jabatan itu yang dicantumkan dalam undang-undang negara islam, atau memberikan jalan kepada perempuan untuk mencapainya. Melakukan tindakan menyalahi nash sama sekali tidak boleh dilakukan oleh sebuah negara yang menyatakan dirinya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Al-maududi menyatakan bahwa orang-orang yang menyalahi pendapat ini adalah orang-orang yang menyebarkan Islam dengan sesuatu yang tidak ada pada Islam, dan dia mendesak mereka untuk tidak mengada-ngada terhadap Islam tanpa bukti yang sama sekali bertentangan dengan sejarah umat terdahulu yang terkenal dengan kebaikannya.
Ini adalah di antara hal-hal yang menguatkan sudut pandang lembaga fatwa Universitas Al-Azhar yang mendasarkan pandangannya kepada apa yang berlaku dan telah dipraktikkan di masa Rasulullah SAW, dan masa para khalifah ar-Rasyidin, sebab tidak ada buktu kuat sebagaimana yang dikatakan oleh mufti,bahwa ada satu kewenangan umum diserahkan kepada perempuan, padahal sebenarnya di masa awal-awal Islam ada di san budayawati-budayawati dan perempuan-perempuan agung, juga ada beberapa perempuan yang melebihi begitu banyak laki-laki kaum muslimin, seperti para ummul mukminin “istri-istri Rasulullah saw”.
Koreksi kami terhadap dalil yang diutarakan oleh mereka yang berpendapat demikian, beberapa bukti-bukti kejadian-kejadian historis dahulu, menyimpulkan bahwa itu bukanlah dalil yang benar dan tepat untuk menegah hak-hak politik perempuan, dimana tidak ada nash yang jelas dan pasti baik dari al-quran dan sunah yang menyatakan penegahan itu. Sedangkan kejadian-kejadian historis dahulu itu, tidak termasuk ijma’ menurut para ulama ushul, di mana itu bukan termasuk ijtihad yang musyawarah jalan keluarnya dan dasarnya adalah meminta pendapat usulan ulil amri yyang mana mereka adalah pakar dan ahli ijtihad yang sudah dikenal, dan kesepakatan mereka hanya dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya. Juga bukan termasuk ijma’ yang digambarkan dengan kesepakatan seluruh rakyat, para mujtahid-nya, orang-orang khususnya dan orang-orang biasanya. Itu bukanlah ijma’ yang dianggap sebagai satu sumber dari sumber-sumber hukum. Namun itu hanyalah sebuah ijma’ (kesepakatan) atas sesuatu yang telah diketahui daripada apa yang telah disepakati oleh umat, karena adanya dalil kuat yang tidak boleh di sana ijtihad.
Jika di antara dasar ijma’ adalah kesepakatan pemikiran dalam memprediksi kemaslahatan.dan kemaslahatan ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman, tempat dan keadaan. Maka bagi para mujtahid itu atau para mujtahid yang datang stelahnya, jika situasi dan kondisi telah berubah, boleh untuk mengoreksikembali dan merevisi ijma’ terdahulu berdasarkan situasi dan kondisi yang baru. Kesepakatan atau ijma’ kedua merupakan ijma’ yang mengakhiri ijma’ pertama dan apa yang diputuskan dalam ijma’ pertama. Ijma’ kedua inilah yang mejadi hujjah atau dalil yang harus diikuti, dan bila kemudian ada kemaslahatan baru maka itulah syariat Allah.
Di antara para penulis kontemporer yang megatakan bahwa di antara hak kaum perempuan dalam syariat Islam adalah perempuan boleh memegang tugas-tugas negara, adalah prof. Muhammad Izzah Darwarah. Dia berkata : “jika perempuan di masa-masa Islam pertama tidak ikut serta dalam urusan-urusan negara secara luas, maka alasannya adalah tabiat kehidupan sosial saat itu, dan itu bukan berarti menonaktifkan hukum-hukum Al-Qur’an, sebab kitab Allah dan sunah Rasul-Nya adalah sumber syariat dan hukum-hukum Islam di setiap masa dan lingkungan. Jadi, masalahnya sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Abdul Hamid Mutawalli juga adalah “masalah sosial, etika dan politik, bukan masalah keagamaan. Hal itu berarti kita harus menempatkan masalah di tempatnya yang benar. Dengan demikian, wajib mencari penyelesaiannya berdasarkan situasi sosial, politik, ekonomi, dan opini mayoritas publik di suatu zaman dan di suatu  tempat, juga berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kesadaran, dengan tetap memperhatikan etika-etika umum yang telah ditetapkan oleh Islam dalam komunitasnya, yang mengatur gerak kehidupan di dalamnya di segala bidang dan yang mengatur ketentuan-ketentuan keikutsertaan perempuan muslimah dalam kehidupan ssial. Di antaranya etika etika bersama antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, dan etika yang khusus untuk kaum perempuan. Semua itu telah ditetapkan oleh al-quran dan dijelaskan oleh sunah.
Dengan demikian, kita telah selesai mendiskusikan dalil-dalil terpenting yang dipergunakan oleh mereka yang berkata bahwa Islam tidak mengakui persamaan antara perempuan dan laki-laki dan hak-hak politik secara umum, juga tidak memngakui hak peempuan dalam “memilih” dan hak menjadi anggota dewan legislatif secara khusus, juga menjabat di kementrian apalagi “kewenangan umum”, dengan berbagai perbedaan antara penganut pendapat ini sendiri dalam hal ‘ apa saja yang dilarang dari hak-hak politik ini dan apa saja yang dilarang’ berdasarkan dalil-dalil yang mereka paparkan juga pemahaman dan sudut pandang yang mereka anggap benar.
Keringkasan dari diskusi ini dan merupakan buah dari apa yang telah dipaparkan adalah bahwa masalah ini termasuk dalam bagian Al-Adat atau perkara-perkara adat yang hanya mempertimbangkan makna dan dasarnya adalah sebab dan kiasan, bukan bagian ibadat yang dasarnya adalah ibadah dan komitmen dengan nash , yakni jika dalam bagian ibadat terdapat unsur ibadah /penyembahan maka wajib mengikuti (berdasarkan) nash.
Dengan demikian pula kita sepakat dengan mereka yang berpendapat bahwa masalah itu kebanyakannya adalah masalah sosial, etika, dan politik, bukan masalah keagamaan, dan dalam hal ini kita harus menempatkan masalah di tempatnya yang benar. Hal 144

Pendapat kami dalam masalah hak-hak politik perempuan dalam islam
            Sebelum kami masuk ke dalam tema ini, penting terlebih dahulu memperhatikan tiga perkara berikut.
            Pertama, pembicaraan kita tentang hak-hak politik perempuan dalam islam maksudnya adalah bahwa ada beberapa hak yang telah ditetapkan oleh Oleh Allah untuk perempuan dalam masyarakatnya yang memiliki beberapa elemen-elemen utama dan ciri-ciri khas yang membedakannya dari masyarakat lainnya. Allah juga tela menyiapkan untuk perempuan iklim yang baik untuk melakukannya secara nyata di negara muslim dan dia mengikatnya dengan beberapa hukum dan etika yang juga mengikat masyarakat  dan nnegara di berbagai sisi kehidupan dan aktivitas manusia, baik keagamaan, politik, dan sosial.
            Islam adalah agama yang komprehensif dan syariat yang tidak bisa dibagi-bagi. Artinya, ketika islam telah menetapkan untuk perempuan apa yang telah ia tetapkan dari hak-hak politik, yang di antaranya adalah ikut berpartisipasi dalam urusan-urusan umum, Islam menetapkan itu untuk menegakkan hukum di negara muslim berdasarkan kaidah musyawarah, prinsip persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negaranya, prinsip meminta pertanggungjawaban penguasa, prinsip keadilan, dan lain-lain dari prinsip-prinsip medasar yang dijadikan islam sebagai dasar-dasar yang baku dalam sistem hukum islam.
            Oleh karena itu, syariat islam diciptakan untuk kemaslahatan hamba secara mutlak dan umum. Syariat islam bukanlah kumpulan dari beberapa hak teoritis namun dia merupakan kumpulan dari tugas-tugas sosial praktis.
            Semua hukum menetapkan bahwa setiap hak pasti lawannya kewajiban. Oleh sebab itu, santer di kalangann ulama syariat bahwa definisi agama adalah “ketetapan Illahi yang ditujukan  kepadaorang-orang yang mepunyai akal sehat, agar mereka bisa memilih apa yang baik untuk mereka sekarang dan masa yang akan datang”.
            Kedua, nash-nash yang qat’i (pasti) yang ada dalam al-qur’an dan nash-nash yang ada dalam hadis tentang hak-hak perempuan dan kewajibannya, keduanya saling enjelaskan dan saling menyempurnakan. Nash-nash itu dan tujuan-tujuannya, tidak boleh dipahami kecuali dalam koridor dasar-dasar syariat dan maksud tujuannya, juga dalam koridor fiqih al-quran dan sunah.
Contohnya, makna Ad- Darajah(tingkatan lebih) yang dijadikan untuk kaum laki-laki atas kaum perempuan dengan firman-Nya:  kaum laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum perempuan (istri). (QS. Al-Baqarah(2) : 228)
Seperti yang dikatakan olehn penulis Tafsir Al-manar : “ ayat ini merupakan sebuah kalimat yang agung sekali. Walau ayat ini pendek namun ia mengumppulkan apa yang tidak bisa diterangkan kecuali dengan menghabiskan begitu banyak lembaran buku. Ia merupakan kaidah menyeluruh yang menuturkan bahwa perempuan sama dengan laki-laki dalam semua hak, kecuali satu perkara yang diungkapkan dengn firman-Nya kaum laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan lebih tinggi daripada kaum perempuan (istri).
Ayat ini mewajibkan satu hal atas perempuan dan mewajibkan beberapa hal atas laki-laki. Sebab, “tingkatan kelabihan” ini adalah tingkatan kelebihan politik dan melaksanakan kemaslahatan yang ditafsirkan  dengan firman-Nya: kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.(QS. An-Nisa’(4): 34) 
Kehidupan berumah tangga adalah kehidupan sosial(kelompok). Dan setiap kelompok harus memiliki seorang pemimpin. Setiap kelompok pasti akan terjadi  perbedaan pendapat, keinginan, dan tuntutan dalam beberapa perkara. Kemaslahatan mereka tidak akan terwujud kecuali apabila mereka mempunyai pemimpin yang pendapatnya dijadikan ssebagai rujukan dalam setiap perselisihan, agar masing-masing dari mereka tidak melakukan apa yang bertentangan, yang akan mengakibatkan hancurnya kesatuan dan persatuan kelompok dan akan merusak sistem.
Laki-laki lebih berhak atas kepemimpinan sebab dia lebih mengetahui akan kemaslahatan dan lebih mampu melaksanakan dengan kekuatan dan hartanya. Oleh sebab itulah dia yang diperintahkan menurut syara’ untuk menjaga perempuan dan memberi nafkah kepadanya. Sedang perempuan diperintahkan untuk taat kepadanya dalam hal-hal yang makruf.
Pemahaman Al- Qawamah tidak berpengaruh pada perempuan itu adil dan kemampuannya semppurna, ddan persamaannya dengan laki-laki tetap ada. Ayat yang menyebutkan Al-Qawamah (kepemimpinan) laki-laki atas perempuan, hanya ,enetapkan hal itu dalam kehidupan berumah tangga. Laki-laki adalah tuan keluarga dan dia bertanggung jawab di dalamnya, sesuai dengan firman-Nya : dan mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, menunjukkan bahwa maksud kepemimpinan itu adalah kepemimpinan dalam keluarga.
Contohnya lagi, nash Al-Quran : bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. (QS. An-Nisa(4):11) tafsir ayat ini dalam Islam sebagaimana yang ada dalam Al-quran sendiri adalah sebab laki-laki memerlukannya untuk memberi nafkah kepada dirinya, istrinya, dan anaknya. Sedang perempuan, dia hanya menafkahi dirinya sendiri, dan jika dia bersuami maka nafkahnya ditanggung oleh suami.
Al-qur’an juga menyebutkan satu sebab hukum pembagian warisan seperti ini: “sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepada kaum laki-laki atas kaum peremmpuan dalam asal kejadian dan memberikan kepada kaum lakilaki apa yanng tidak diberikan  kepada  kaum perempuan dari kemampuan dan kekuatan. Perbedaan antara kewajiban dan hukum adalah pengaruh dari perbedaan fitrah dan kesiapan.
Dasar perbedaan antara dua jenis manusia ini adalah laki-laki bertanggung jawab untuk orang lain sedangkan perempuan tidak. Ini menuntut adanya keistimewaan untuk laki-laki dalam bagiannya, sebab dasar ini kekal selamanya.
Laki-laki bertanggung jawab dan wajib memberi nafkahsedang perempuan tidak memiliki tanggung jawab memberi nafkah kecuali untuk memberi nafkah dirinya sendiri, jika tidak ada orang (suami) yang menanggung nafkahnya. Ini adalah dasar dan asaldalam Islam untuk membangun masyarakat muslim.
Ketiga, “tidak akan mengenal Islam orang yang tidak pernah mengenal jahiliah.” Ini adalah perkataan Umar bin Khatab. Dia mengungkapkan tentang transformasi reformasi besar yang diciptakan oleh Islam dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dengan petunjuk langit dan dengan diturunkannya al-quran kepadabbeliau, dan dengan itu semua Rasulullah memberikan peringatan kepada keluarga beliau dan orang yang lahir kepada beliau.
Bangsa Arab dari kejahilan, paganisme, kebobrokan mereka, kemudian pindah dan berubah menjadi sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia dengan sebab masuknya mereka ke dalam agama Allah, mengamalkan kitab mereka dan sunah Nabi SAW.
Peran kaum perempuan dalam transformasi reformasi besar ini telah jelas disebutkan dalam nash-nash Al-quran dan hadis-hadis shahih serta berita-berita yang dapat dipercaya, dan yang termasuk dari pembahasan kita dari peran ini adalah apa yang berhubungan dengan hak-hak  politiknya. Namun kami melihat dalam isyarat ini ada sesuatu yang mendukung geraka emansipasi wanita di zaman sekarang.
Umar bin khatab berkata :”Demi Allah, di masa jahiliah dahulu, kami tidak pernah memperhitungkan perempuan dalam satu perkara pun, hingga Allah menurunkan  wahyu perihal mereka dan memberikann bagian untuk mereka.
Pendapat dan argumentasi kami
Apa yang telah kami paparkan dari beberapa catatan terhadap beberapa argumentasi mereka yang berkata bahwa islam tidak mengakui persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik, melarang memberinya tugas-tugas kepemimpinan yang termasuk dalam kewenangan, terutama kewenangan umum, yaitu kepemimpinan tertinggi sebuah negara, dan tidak memberinya hak-hak memilih dan hak dipilih untuk menjadi anggota parlemen atau dewan permusyawaratan, menunjukkan bahwa kami bersama pendapat yang lain. Yang berbeda dengan pendapat diatas. Sekalipun para penganut pendapat di atas memberikan beberapa ketentuan untuk tidak adanya larangan itu, dan beberapa ketentuan itu juga merupakan sumber perselisihan antara mereka.
Di antara perselisihan itu adalah pengecualian jabatan kepemimpinan tertinggi negara dari hak-hak itu, dan seperti galih segolongan dari mereka bahwa masyarakat belum siap untuk menerima perempuan melakukan hak-hak politiknya, seperti hak memilih dan hak dipilih menjadi anggota parlemen, juga menduduki jabatan kementrian atau pemerintahan sekalipun ada maslahatnya dan tidak ada yang pengahalangnya.


Farid Abdul. 2005.” Fikih politik Islam”  Jakarta. Amzah. Hal: 122