Senin, 27 Oktober 2014

hasil-hasil yang dicapai dalam tasawuf



BAB II
PEMBAHASAN

A.          HASIL-HASIL YANG DI CAPAI DALAM TASAWUF
1.             EKSTASE (JUNUN)
Menurut pendapat beberapa kaum sufi, pencari kebenaran dengan kebatinan yang intensif dan berhubungan dengan Tuhan itu melalui tingkat ekstase, berangsur-ansur akan dapat mencapai suatu taraf, dimana ia sungguh-sungguh dapat melihat “wujud Tuhan”. Langkah pertama bagi orang baru ialah memasang “niat” (tekad atau maksud), kemudian bertobat (menyatakan penyesalan atas dosa lalu menjauhinya). Kini ia dalam keadaan maju, tingkat ini disebut mujahadah (ujian atau perjuangan).
Ada beberapa gambaran dan penjelasan mengenai tingkatan spiritualitas yang dialami oleh para sufi dalam perjalanan menuju persatuan dengan Tuhan, namun secara ringkas tingkatan-tingkatan tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan utama yaitu :
a.              “penyusutan” (qabd) Diana dalam tingkatan ini aspek tertentu dari jiwa manusia harus mati. Tingkatan ini berhubungan dengan kezuhudan dan kesalehan serta manifestasi atau teofani (tajjali) Nama-Nama Tuhan.
b.             “perluasan” (bast) yaitu aspek dari jiwa manusia mengalami perluasan sehingga melampaui batas-batasnya sendiri hingga alam semesta berada di pelukannya. Tingkat ini diiringi rasa gembira dan ekstase serta merupakan manifestasi dari Nama-Nama Tuhan.
c.              Persatuan dengan Yang Maha Benar (wisal bi la-Haqq). Pada tingkatan ini para ahli ma’rifat tela melewati seluruh tingkatan (maqam) lainnya dan dapat merenungkan Wajah Kekasih.
Ibn Ajibah seorang sufi dari Tarekat Syaziiyah merangkum ajaran-ajaran spiritual dan beberapa guru sufi dengan menggambarkan empat tingkatan yang berurutan dari sebuah pendekatan untuk mencapai ekstase dalam menggunakan as-sama’
a.              Tawajjud (mencari ekstase) yaitu orang yang telah bersumpah menolak dunia secara total. Kemudian ia menari, bergerak ritmis, dan sebagainya secara metodis, meniru tampilan emosi ekstase (wajd) mensimulasikan ekstase dan mengulang gerakan-gerakannya untuk merespon panggilan hati.
b.             Wajd (ekstase emosi) yaitu dalam diri seseorang mendengar apa yang menimpa hati dan menguasainya secara tiba-tiba tanpa orang harus mengupayakan,  bisa berupa hasrat yang menggairahkan dan menggelisahkan atau satu kecemasan yang menakutkan.
c.              Wijdan (ekstase pertemuan) tingkatan ini dicapai ketika seseorang telah merasakan indahnya kehadiran yang semakin lama dan sering disertai dengan mabuk dan pingsan.
d.             Wujud puncak dari ritual ini dan Ibn Ajibah mengatakan : “ketika perempuan ini selesai sampai rasa pingsan dan segala halangan lenyap dan segala pengetahuan dan meditasi tersucikan, terjadilah ekstasi ( wujud), satu saat yang disinggung oleh la-Junaid dalam sair berikut “ Ekstasiku adalah ketika aku memindah diriku dari eksistensi melalui anugerah dari Dia yang menunjukan padaku kehadiran”

2.             KARAMAH
a.     Makna karamah secara bahasa
Berasal dari kata karuma” dengan huruf ra yang berharakat dhammah,masdarnya adalah “karaman” dengan fathatain (dua fathah) Kata karamah bila diidentikkan dengan sesuatu yang berharga dan berwibawa maka dikatakan sebagai sesuatu yang mulia. Contohnya dalam kalimat, “bagiku, ia adalah orang yang memiliki kemuliaan atau kewibawaan”. Segala sesuatu yang dipandang mulia berarti ia memiliki sifat kemuliaan. Seseorang tidak dikatakan sebagai orang yang mulia sebelum terlihat pada dirinnya akhlak dan perbuatan yang terpuji.
b.    Makna karamah berdasarkan syariat
Nampaknya hal-hal luar biasa pada diri seseorang yang tidak membawa risalah kenabian, atau tidak relevan dengan prinsip-prinsip keimanan dan amal shalih, maka hal itu dikatakan (istidraj”(kejadian sesuatu yang diluar kebiasaan manusia pada umumnya).adapun bila hal itu ada pada seseorang yang membawa risalah kenabian, maka hal luar biasa tersebut disebut sebagai sebuah “mukjizat”.
Adapun karamah menurut para ulama atau tauhid adalah sesuatu yang luar biasa yang tidak diiringi oleh risalah kenabian, ia (karamah) juga bukan merupakan pengantar yang mengindikasikan kearah misi kenabian tersebut, dimana hal-haal luar biasa tersebut tampak pada seorang hamba yang jelas-jelas shalih dan patuh mengikuti syariat-syariat yang dibebankan kepadanya, yang diiringi dengan keyakinan yang benar dan amal shalih, baik hamba tersebut menyadari bahwa ia memiliki kemampuan luar biasa tersebut atau tidak menyadarinya.
1.    Syarat-syarat karamah
Dalam kitab bustanul arifin, an-Nawawi membuat ketentuan sebagai berikut,
“agar karamah itu tidak menjadi bagian dari salah satu dasar dari dasar-dasar agama yang telah ditetapkan, maka sebagaimana yang telah diemukakan oleh abu ishaq dalam kitab al-muwafaqat, bahwasannya karamah itu tidak sah diistilahkaan dan dideskripsikan, kecuali dengan dua syarat, yaitu:
Pertama: tidak menyalahi hukum syariat
Kedua: tidak menyalahi hukum agama.
Maka jika tedapat sesuatu hal yang luar biasa yang bertentangan dengan kaidah agama atau hukum syariat, maka hal tersebut tidak layak dikatakan sebagi bagian dari karamah. Bahkan ia dianggap hanya sebagai sebuah khayalan,angan-angan, dan bagian darihembusan syaitan.
2.    Standar batasan karamah
Dalam menetapkan standar ukuran karamah para wali, kami tidak memberikan batasan ketetapan Allah dengan kemampuan logika. Akan tetapi kami menetapkannya berdasarkan prinsip-prinsip syariat, dan kami juga tidak berusaha mengenyampngkan apa yang telah diajarkan Allah kepada kami bahwa mennetapkan standar ukuran karamah adalah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh Allah. Hal tersebut dimaksudkan agar kami tidak terjebak dalam sikap berlebih-lebihan yang pada gilirannya hanya berakhir pada perbuatan syirik kepada Allah SWT. Naudzubillah.
Sebuah karamah bukanlah bukti bahwa seseorang dianggap sebagai seorang wali, karena istilah karomah itu sendiri masih ssamar pengertiannya bagi kebanyakan orang. Ada orang yang menganggap dirinya sebagai wali padahal ia tidak memiliki karamah apapun. Akan tetapi yang benar adalah kewalian adalah suatu bukti bahwa seseorang memilii karamah. Karamah sendiri tidak memiiliki pengaruh apapun dalam hukum syariaat. Akan tetapi karamah itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh abu ishaq dalam kitab al-muwafaqat, “ bertujuan agar yang bersangkutan bertambah yakin dan lebih mengenal Allah SWT, serta memberikan kekuatan untuk dapat lebih mengetahui kewajiban apa saja yang harus mereka laksanakan terhadap-Nya.” Ungkapan ini adalah penjelas dari ucapan abu al-hasan asy ayadzali saat ia mengatakan,
        Bahwasannya karamah itu ada dua bagian:
1.             Karamah berupa keimanan, berupa bertambahnya keyakinan dan lebih dapat mengetahuui kebenaran.
2.             Karamah berupa amal perbuatan untuk mengikuti jalan yang benar, dan menjauhi segala tipu daya. Maka bagi mereka yang telah dianugerahi dua macam bentuk karamah itu, lantas ia berpaling kepada selain keduanya, maka ia adalah seoarang hamba pembohong dan pendusta. Ilmu yang dimilikinya adalah keliru, dan amal perbuatannya jauh dari kebenaran. Adapun dasar dari pendapat ini adalah firman Allah SWT

4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ÇÊÌÈ      
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”(QS. Al-hujurat : 13)
Menetapkan bahwa suatu peristiwa tertentu adalah sebuah karamah
     Kaum ahlus sunnah meyakini bahwa karamah-karamah tertentu memeng pernah dialami oleh wali Allah tertentu. Diantara contoh tersebut adalah sebuah kejadian yang dialami seorang sahabat yang mulia bernama Usain bin Khudair Radhiallahu Anhu. Konon, setiap kali ia membaca surah al-kahf maka turunlah dari langit semacam bayangan sepertipelana unta, yang tiada lain adalah para malaikat yang sedang mendengar bacaannya.begitu juga dengan Abuj Bakar Ash Sidiq Radhiallahu Anhu, ketika ia membawa tamunya mengunjungi rumahnya, ia tidak mempunyai makanan kecuali hanya sesuap makanan saja. Akan tetapi ia menemukan makanan yang lebih banyak dari itu, hingga mereka semua merasa kenyang., bahkan makanan tersebut menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Dua riwayat ini terdapat dalam shahih bukhari pada bab “tanda-tanda kenabian dalam islam.”
     Syaikhul islam ibnu Taymiyyah  berpendapat tentang al-khawariq(kejadian yang laur biasa), hal-hal luar biasa yang dialami oleh manusia selain para nabi, merupakan dari kasyaf dan al-ilmu.. misalnya umar dalam peristiwa perjalanan malam. Juga prediksi yang tepat dari Abu bakar bahwa janin yang ada dalam perut istrinya adalah seorang perempuan. Demikian pula prediksi jitu dari ummar bahwa anak lelakinya kelak menjadi seorang yang adil. Juga kisah sahabat musa (nabi khaidir) yang mengetahui masa depan seorang anak muda. Ada juga peristiwa luar biasaseperti yang terjadi dalam kisah berdasarkan informasi dari al-Qur’an, kisah para penghuni gua (ash-habul kahfi), kisah maryam, kisah khalid bin walid, perahu pelayan Rasulullah SAW.,Abu muslim al-khaulani, dan masih banya lagi contoh lainnya.
Adapun kemampuan seseorang yang tidak berkaitan dengan perbuatannya sendiri, contohnya adalah seperti pertolongan Allah  kepada orang yangg membela agama-Nya, dan kebinasaan dari-Nya bagi orang yang mencela agama-Nya.”
Ahlus sunnah wal jama’ah meyakini adanya mukjizat dan hal-hal yang luar biasa sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih,  tanpa adanya pemalsuan, yakwil, dan juga penghapusan, karena tidak ada yang dapat menandigi kekuatan Allah SWT.  Dialam semesta ini baik di langit maupun di bumi.
Adapun hal-hal luar biasa yang dinisbatkan oleh para ahli kufarat, para pemuja kuburan, dan anggota aliran kebatinan kepada para syaikh dan pemimpin mereka- jika mremang benar ada- maka hal itu merupakan hasil pekerjaan syaitan.

3.      Ilmu Laduni (Ladunni)
a.       Pengertian Ilmu Laduni (Ladunni)
Kata laduni (Ladunni), berasal dari bahasa Arab, akar kata dari ladun/ laday, berarti dekat/ pangkuan. Banyak Ulama dan Sufi memberikan pengertian Ilmu Laduni, pengertian berbeda namun, memiliki hakikat makna yang sama.
Beberpa pengertian ilmu laduni yang dimaksud adalah:
Abdul Qadir Jailani dan al-Jilli memberikan pengertian ilmu laduni sebagai ilmu rohani dan pengetahuan hikmah (kebijakan) yang diperoleh melalui perbuatan kontinyu, dalam waktu lama dalam hal kebaikan dan kesalehan amal ibadah.
Pengertian Ilmu Laduni menurut al-Ghazali adalah ilmu yang dipancarkan langsung oleh Tuhan ke lubuk hati manusia tanpa proses belajar terlebih dahulu dan tanpa proses metode ilmiah. Menurutnya lahirnya ilmu laduni, melalui kasyf atau ilham.
Ibn Arabi menjelaskan pengertian ilmu laduni dalam kitab Futuhat al-Makiyah, yaitu ilmu yang terpancar ke dalam hati manusia, tanpa diusahakan dan tanpa menggunakan argumentasi aqliyah (argumentasi pikiran). Pengertian ilmu laduni Ibnu Arabi, setidaknya memiliki kemiripan dengan pengertian ilmu Laduni al-Ghazali, namun sifatnya lebih mendasar. Jika tak menggunakan argumentasi Aqliyah, bagaimana mungkin melahirkan proses pembelajaran.
Al-Qusyairi dan al-Harawi memberikan pengertian Ilmu Laduni sebagai sesuatu yang diterima seseorang dengan jalan ekstase dan kasyaf (ketersingkapan). Dalam kitab karangan al-Harawi, Manazil As Sairin, disebutkan bahwa Ilmu Laduni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah ke dalam hati tanpa sebab yang dilakukan seseorang hamba tanpa menggunakan dalil-dalil. Sebab yang dimaksud adalah sebab yang disengaja, atau usaha untuk mendapatkan ilmu Laduni.
Abu Hamzah As-Sanuwi, meberikan pengertian ilmu Laduni dan pengertian ini kemudian menjadi trend dan dimuat oleh wikipedia. Menurutnya ilmu Laduni terbagi menjadi dua. Pertama, ilmu yang didapat tanpa proses belajar, biasa diistilahkan dengan ilmu wahbiy. Kedua, ilmu yang didapat karena proses belajar, dan biasa diistilahkan dengan ilmu kasbiy.
Adapun ilmu yang diperoleh melalui proses belajar, yaitu ilmu Syariat, dan ilmu Makrifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyaf. Kasyaf inilah yang dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf.
Sedangkan ilmu yang diperoleh melalui proses belajar, adalah usaha mendapatkan pengetahuan seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, dan seterusnya.
Pengertian ilmu Laduni menurut penulis, berdasarkan pengertian ilmu Laduni tersebut, ilmu yang bersumber langsung dari Tuhan, di berikan pada manusia, melalui ilham dan tanpa perantara, dan didapatkan tanpa usaha yang disengaja total untuk mendapatkan ilmu tersebut.
b.      Ilmu Laduni dalam Islam
قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( QS Al Baqarah : 32 )
Diantara pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas adalah :
Bahwa semua ilmu yang dimiliki makhluq hidup di bumi dan di langit adalah ajaran dari Allah swt, termasuk ilmu yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian, kita katakan bahwa semua ilmu yang dimiliki oleh manusia adalah Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang berasal dari Allah swt . Timbul suatu pertanyaan, apa sebenarnya hakikat ilmu laduni menurut pandangan Islam ? apakah seperti yang sering di pahami orang-orang sufi selama ini atau ada arti lain yang lebih benar.
Menurut Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu laduni dalam pengertian umum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy). Bagian pertama, bagian pertama ini, terbagi menjadi dua macam:
1.        Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dri Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khidhir:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam:
“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”
Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf sampai datang ajal kematiannya.
2.        Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih.Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.
Bagian Kedua : Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam.
Bagaimana Ilmu Laduni menurut orang-orang sufi ?
Ilmu Laduni menurut Sufi adalah sebagai berikut :
1/ “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits, tidak bisa mendapatkannya.
2/ “Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidlir alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan: “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
3/ Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
Untuk menafsirkan sebuah ayat atau untuk mengatakan derajat suatu hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka ”Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.”
Sehingga, akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf).
Salah satu fenomena Ilmu Laduni yang terjadi dimasyarakat adalah apa yang di alami oleh seorang kyai salah satu pendiri Pondok Pesantren di salah satu kota di Jawa Timur .Kyai yang mempunyai 150-an santri itu mengaku bahwa dirinya mempunyai Ilmu Laduni . Dengan Ilmu Laduni yang dimiliknya, sang kyai tersebut mengaku mampu mengajarkan seseorang untuk menguasai berbagai bahasa dengan tanpa bantuan alat pun, baik video, kaset bahasa asing, laboratorium bahasa, apalagi native speaker. Tetapi cukup para muridnya menjalani beberapa ritual, seperti mandi dan membaca beberapa do’a dan sebagainya. Seseorang yang ingin belajar dengan sang kyai ini dipungut biaya Rp 1 juta. Atau Rp 350.000, tergantung pada level yang ia masuki .Sang kyai tersebut mengaku mendapatkan ilmu laduni itu dari Nabi Khidir AS melalui ritual tirakat (lelaku, bertapa). Tirakat tersebut dimulainya sejak usia tujuh tahun. Dan biasanya dilakukan di tepi laut sambil mencari ikan. Pada usia sekitar 12 tahun, sang kyai tersebut mengaku bertemu dengan Nabi Khidir AS di tepi laut. Dalam pertemuan itu, menurutnya bahwa wujud Nabi Khidir AS berupa seorang manusia yang mengenakan pakaian seperti rakyat biasa. Kemudian nabi Khidir mengangkatnya sebagai muridnya. Bantahan Singkat Terhadap Kesesatan di atas :
1. Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimulyakan oleh Allah dengan ilham. Abu Bakar radhiallahu anhu diilhami oleh Allah bahwa anak yang sedang dikandung oleh isterinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa ilham atau ilmu Ilahi itu termasuk sebagian balasan amal shalih yang diberikan Allah di dunia ini. Jadi tidak ada dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam:”Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.” (Al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Anas radhiallahu anhu, hadits dhaif).
Ini sesuai juga dengan firman Allah swt dalam surat Al Baqarah : 282
وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ
“ dan bertaqwalah kamu kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu”
Firman Allah di dalam surat Al Hijr : 75
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّلْمُتَوَسِّمِينَ
“ Dan sesungguhnya pada peristiwa tersebut ( hancurnya kaum Luth ) merupakan tanda bagi orang- orang yang mempunyai firasat “
Perlu di garis bawahi disini, bahwa orang yang punya kelebihan tersebut tidak akan mengaku- ngaku atau mengumumkan ilmu yang ia miliki di depan umum, apalagi sengaja untuk dikomersialkan demi mencari kekayaan dunia. Sungguh hal ini tidak sesuai dengan ruh ajaran Islam yang mengajarkan uamtnya untuk tidak riya’, apalagi menggunakan agama sebagai kendaran untuk mencari dunia.
2.    Nabi khidir – menurut sebagian para ulama- diutus kepada kaum tertentu, sebagaimana nabi Musa as hanya diutus kepada bani Israil. Dan suatu hal yang sangat wajar sekali, apabila di satu zaman ada dua nabi atau lebih. Buktinya ? Dalam surat Yasin ayat 13-14, Allah berfirman :
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلاً أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءهَا الْمُرْسَلُونَ إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُم مُّرْسَلُونَ
“ Berikan ( wahai Muhammad ) kepada mereka sebuah permitsalan para penduduk suatu negri , ketika datang kepada mereka para utusan Allah . Ketika Kami utus kepada mereka 2 orang rosul, maka mereka mendustakan keduanya, maka Kami perkuat dengan rosul yang ketiga, mereka berkata ; “ Sesungguhnya kami adalah utusan Allah kepada kamu sekalian “
Contoh yang lain adalah nabi Ibrohim, Ismail, Ishaq dan nabi Luth mereka hidup dalam satu zaman, begitu juga nabi Daud dan Sulaiman, nabi Ya’qub dan Yusuf , nabi Musa , Harun dan Syu’aib, dan terakhir nabi Zakaria, Isa dan Yahya.
3.    Nabi Khidir as juga bukan pengikut nabi Musa as dan tidak diperintahkan untuk mengikutinya , sehingga boleh-boleh saja bagi nabi Khidir berbuat tidak seperti apa yang diajarkan nabi Musa as, karena setiap nabi mempunyai manhaj dan syareah yang berbeda-beda. Kemudian setelah itu datang seseorang mengaku sebagai wali Allah dan mempunyai ilmu laduni , sehingga membolehkan dirinya keluar – atau tidak mengikuti syareah yang di bawa nabi Muhammad saw. Jangankan dia….yang namanya nabi Isa as saja, nantinya kalau turun ke bumi lagi untuk membunuh Dajjal, akan ikut dan patuh dengan syareat nabi Muhammad saw
4.    Adapun pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan ada orang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang mengambil ilmu langsung dari Allah kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.
5.    Anggapan bahwa ilmu syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan untuk merusak Islam. Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari cahaya Islam.
6.    Anggapan bahwa dengan “ilmu laduni” sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan: “Setiap hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”
7.    Seseorang yang mengaku mendapatkan Ilmu Laduni, sebagaimana yang di dapat oleh Nabi Khidir as, sama saja ia mengaku mendapatkan wahyu dari langit, karena yang didapat nabi Khidir adalah wahyu. Seseorang bisa mengetahui ilmu ghoib dengan perantara Jin atau Syetan , karena Jin dan Syetan sering mencuri pendengaran tentang hal-hal ghoib dari langit. Sebagaimana firman Allah didalam surat Al Hijr : 17-18,
وَحَفِظْنَاهَا مِن كُلِّ شَيْطَانٍ رَّجِيمٍ إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُّبِينٌ
Dan Kami jaga langit2 tersebut dari syetan yang terlaknat, kecuali mereka yang mencuri pendengaran ( dari hal2 yang ghoib ) , maka dia akan dikejar oleh batu api yang nyata “
Ayat – ayat senada juga bisa dilihat di dalam surat As Shoffat :10 dan Surat Jin : 9.
8.    Seseorang yang mengaku mempunyai ilmu laduni dengan perantara ilmu-ilmu kanuragan ( ilmu kesaktian ) yang ia dapatkan dengan latihan-latihan tertentu, seperti bertapa di tengah sungai selama 40 hari 40 malam, atau puasa selama 40 hari berturut-turut, atau dengan hanya makan nasi putih saja tanpa lauk dalam jangka waktu tertentu atau dengan cara-cara lain yang sering dikerjakan sebagian orang. Maka kita akan tanyakan kepadanya, apakah cara-cara seperti itu pernah diajarkan oleh Rosulullah saw dan para sahabatnya atau tidak ? kalau jawabannya tidak, berarti dia mendapatkan ilmu tersebut dengan meminta bantuan dari jin dan syetan.Sebagaimana seseorang bisa menjadi kaya mendadak dengan meminta bantuan Jin dan Syetan. Perbuatan seperti ini dilarang oleh Islam, sebagaimana firman Allah didalam surat Jin : 6
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“ Dan sesungguhnya ada diantara manusia yang meminta perlindungan dari segolongan Jin , maka segolongan Jin itu hanya aka menambah kepada mereka kesusahan. “
Kita dapati banyak orang pada zaman sekarang yang memelihara Jin untuk memperoleh kekayaan dengan cepat, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah kesusahan. Mereka akhirnya mati secara mengenaskan karena menjadi “ tumbal” Jin yang ia pelihara. Sungguh Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.