Senin, 27 Oktober 2014

islamisasi ilmu pengetahuan

Islamisasi ilmu pengetahuan
Sifat ketidaknetralan ilmu
            Diskusi tenntang apakah ilmu itu netral dalam arti bebas nilai atau tidak sudah berlangsung lama. Khairul umam menulis, ssejak munculnya kembali paham teosentris, ilmuwan rasionalisme yang bersikukuh dalam pendirinannya terus beerjuanng untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mngembalikan citra rasionalismenya. Pada zaman modern, semangat tersebut semakin bangkit setelah Rene Descartes (1596-1650) menyampaikan diktumnya yang terkenal cogito ergo sum yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan,rasiolah sanng raja pengetahuan dan ia harus tebebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, credo, nilai, dan lain sebagainya. Maka inilah yang kemudian melahirkan renaisans (yang berarti kelahiran kembali) dalam ilmu pengetahuan serta diikuti Aufklarung(pencerahan)  yang menandakan bangkitnya ilmu pengetahuandengan prinsip dasar rasionalisme, netralisme, dan bebas nilai.
            Ide ini berkembang sirinng dengan berkembangnya sains dan teknologi di barat. Bermula dari para filsuf inggris seperti david Hume (1711-1776) dan jhon locke(1632-1704) yang memberikan reaksi keras terhadap pemikiran rasionalisme. Kemudian mendapat legitimasi pada zaman modern kketika muncul filsafat filsafat positivisme yang dimotori oleh Auguste Comte adalah ilmuwan penemu isltilah sosiolog dan kemudian dijuluki sebagai bapak sosiologi modern. Comtelah yang memperkenalkan aliran positivisme dalam sains.
            Diantara ciri-ciri positivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang “bebas nilai” atau ntral” itu objektif”. Inilah yang menjadi dasar prinsio filosfis pemikiran positivisme. Paham ini mencob memberi garis demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri diluar nilai. Dengan begitu, subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realitas dan bersikap imparsial-netral.ciri lainnya adalah”mekanisme” yaitu paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan  secara mekanikal-determinis, seperti layaknya mesin.
            Mulai abad ke-20 wacana tentang paham positivisme sangat mendomminasi. Paham ini mempengaruhi para ilmuwan dan mereka yang mepelajari ilmu. Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa positivisme bukan hanya semacam wacana atau paham dalam cabang ilmu filsafat, tetapi telah menjadi agama baru yang dianut para ilmuwan. Positivisme telah dilembagakan di institusi-institusi pendidikan dan dijadikan doktri bagi berbsgsi ilmu –ilmu yang berkembang dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas nilai dan obbjektif.
            Selain masalah  ilmu bebas atau tidak bebas nilai, di dunia sains modern muncul istilah”objektif”. Maksudnya adalah masalah yang diteliti mempunyai objek yang jelas, dalm hal ini objek fisik. Ilmu yang objeknya tidak jelas-tidak fisik, maka dinilai tidak objektif. Ilmuwan atau peneliti yang memasukkan ilmu nilai kedalam penelitiannya juga disebut “tidak objektif” .
            Khairul menulis, untuk memperkokoh pandangannya tersebut, positivisme menetapakan syarat bagi ilmu pengetahuan, yaitu: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulaang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable) dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). Dengan begitu, objek ilmu pengetahuan harus berupa fakta-fakta empiris (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh manusia “sebagai subjek utama dari ilmu itu sendiri” tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut metafisika.
            Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa sedikit demi sedikit hal-hal yang bersifat metafisika, termasuk yang di dalamnya agama, disingkirkan dari pembahasan sains. Sains terutama sains alam haruslah nyata dan dapat diindera, baik langsung maupun menggunakan alat. Selain itu, metode ilmiahnya pun sains mengac pada sesuatu yang bersifat logis dan empiris.
            Karakteristik sains menurut mereka adalah bahwa ia harus didapat melalui metode ilmiah yang sudah baku, yaitu metode logico-hypotetico-verificative. Mode ini terlebih dahulu mencoba mengkaji pengetahuan dengan cara memikirkan sesuatu sesuai dengan aturan berpikir yang logis, rasional atatu pikiran  yang masuk akal(logico), dan bukan melalui aturan kepercayaan atatu keyakinan-keyakinan mistis. Kemudian dengan aturan berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapatditarik hipotesis(hypothetico). Dari hipotesis tersebuktlah kemudian ilmu pengetahua harus membuktikannya secara empiris (verificative).
            Dengan demikian, menurut ilmuwan barat empirisme dalam sains semakin mengarah  pada ide netralitas sains. Teori dan metode ilmiah dibangun dengan suatu pandangan bahwa sains itu empiris, objektif,dan logis sehingga deengan begitu bersifat netral.
            Pada tahap selanjutnya paham netralitas ilmu (sains) terus berkembang dan dikembangkan terus oleh para ilmuwan sebagia ide dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Meski kemudisn sempat  terjadi pertarungan sengit selama kurang 250 tahun diantara ilmuwan yang berpegang pada prinsip “ilmu bebas nilai dan netral atau objektif, denngan ilmuan yang berkeyakinan bahwa ilmuitu terikat oleh nilai, tidak netral dan penuh dengan keterkaitan subjektif, namun pandangan netralitas ilmu teerus memenangkan idenya tersebut.
NATURALISASI ILMU
Dengan mengetahui dan mmenyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak netral maka sebagai akibatnya ilmu pengetahuan akan dapat –dalam istilah sabra, dinaturalisasikan dan di apropriasikan. Ilmu pengetahuan mengalami naturalisasi karena terjadi akulturas dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru. Melalui proses inilah ilmu tersebut kemudian menjadi tersimilasi secara penuh pada tuntutan-tuntutan kebudayaan negeri tersebut, termasuk agamanya.
Mulyadhi menulis dalam bukunya Menyibak Tirai Kejahilan bahwa proses naturalisasi ilmu pengetahuan terjadi di mana saja dan kapan saja sepanjang sejarah perkembangan ilmu. Misalnya, ketika peradaban Mesopotamia menerima pelbagai corak budaya ( bahkan agama)dari wilayah-wilayah di sekitarnya, di sana terjadi proses asimilasi dan akulturasi yang pada akkhirnya menimbulkan corak budaya dan peradaban Mesopotamia yang khas.
Demikian juga ketika para filsuf awal yunani mengolah inforamasi ilmiah-filosofis yang mereka himpun dari wilayah-wilayah sekitarnya. Khususnya Mesir dan Suriah. Mereka megadakan pewargaan(naturalisasi) terhadap  ilmu-ilmu yang mereka peroleh di sana dengan corak khas pemikiran Yunani pada saat itu yang bersifat rasionalistis. Kita tahu dari abul hasan al-Amiri, seorang filsuf muslim abad le-10, bahwa pythagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir, sedangkan belkajarmetafisika(al’ilm al-ilaahi)dari sahabat-sahabat Nabi Sulaiman.
Demikian juga Empedokles, menurutnya, belajar filsafat dalam waktu yang cukup lama dari luqman al-hakim, seorang filsuf masa  nabi Daud. Namun ketika kembali ke negerinya, empedokles dikatakan mengembangkan ilmu yang diperollehnya itu sesuai dengan corak pemikirannya yang khas. Oleh karena itu, kata al-Amiri, kita tidak perlu heran kalau pemikirannya banyak yang bertenntangan dengan ajaran atau pandangan keagamaan gurunya. Dengan demikian kirta dapat mengatakan bahwa para filsuf besarYunani seperti pythagoras, Empedokles,Plato, dan Aristoteles telah melakukan naturalisasi terhadap ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari sumber-sumber yang lebih awal, yang biasanya dikatakan lebih bersifat mitologis daripada ilmiah, ke dalam sebuah kerangka kerja ilmiah filosofis mereka yang lebih rasional.
Ilmuwan musli terdahulu juga mmelakukan naturalisasi ilmu dengan menyerap dan mengadaptasi ilmu-ilmu dari Yunani. Naturalisasiatau”islamisasi” awal islam ini akan diuraikan pada bagian Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Ide islamisasi ilmu pengetahuan muncul dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai (value-free), tetapi syarat nilai (value-laden). Ilmu pengetahuan yang tidak netral ini telah diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya, dan filosofis, yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia barat. Jadi, ilmu pengetahuan modern harus diislamkan.
Berbicara tentang islamisasi, tidak bisa lepas dari peran pemikiran Syed Muhamad Naquib al-Attas, penggagas awal ide islamisasi ilmu pengetahuan. Al-Attas menurut Wan Daud, telah menemukan tiga di antara temuan ilmiah terpenting dunia islam abad ini, yaitu problem terpenting yang dihadapi umat islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai(netral), umat islam perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini.
Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer
            Jauh setelah proses islamisasi ilmu d awaliislam, umat islam mengalami kemunduran dan kemerosotan. Di pihak lain, ilmu atau sains yang dikembangkan di dunia barat mengalami  kemajuan yang sangat pesat dan signifikan. Ssedangkan sains yang berkembang maju sekarang tersebut secara diametral berbeda dengan ilmu dalam pandangan islam.
            Kemerosotan umat akibat ilmu pengetahuan, yang dalam istilah al-Attas disebut dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Telah diuraikan panjang lebar oleh para ilmuwan Muslim. Bahkan, menurut Wan Daud, ada tiga diantara temuan ilmiah terpenting di dunia islam ysng sangat berpotensi mempengaruhi perjakanan kehidupan umat islam secara mendalam dan menyeluruh di abad ke-15 H ini, telah ditemukan oleh al-Attas, yaitu,1)problem terpenting yang dihadapi umat islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan; 2) ilmu pengetahuan tidak bebas nilai (netral), sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia barat; dan 3) umat islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran.
            Maka di akhir abad ke-20, dimulailah upaya-upaya untuk mengislamkan ilmu pengetahuan yang digagas oleh beberapa ilmuwan. Namun, sebelum masuk ke esensi islamisasi ada satu hal yag harus diselesaikan mengenai penggunaan istilah dan definisi “islamisasi”.
Permasalahan istilah dan definisi islamisasi
            Istilah islamisasi sains islam seringkali disalahpahami, bahkan oleh para ilmuwan itu sendiri. Bsgi sebagian orang, sains adalah sains, dan sebagai mana tidak ada sains kristen atau sains yahudi, begitu pula tidak ada sains islam.salah satu yang berkomentar seperti itu adalah ilmuwan islam tersohor peneremima hadiah Nobel fisikaAbdussalam. Dia berkata, “hanya ada satu sains universal, problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains islam sebagimana tidak ada sains hindu, sains yahudi, atau sains kristen.”
            Di zaman modern, kebutuhan akan istilah definitif “islami” tampak terlalu jelas dan gamblang bagi siapa saja yang cukup akrab serta mengenal sains islami dan sains barat modern. Dua sains ini tidak memiliki karakter dan filosofis yang sama. Timbul kebingungan diantara sebagian besar kaum muslimin kontemporer tentang sifat dan karakter sebenarnya dan juga tentangkaitan historis sesungguhnya dari dua sains tersebut. Dengan sendirinya, ada kebutuhan nyata untuk memahami dengan benar masing-masing sifat historisnya. Yang banyak dan amat ditekankan oleh para pendukung dan penyokong muslim yang mempelajari sains modern duaratus tahun terakhir ini, mulai dari Jamaluddin al-afghani dan sir sayyid akmad khan pada abad sembilan belas hingga “keturunan”intelektual mereka dewaasa ini adalah klaim mereka bahwa sains modern adalah pewaris settia dan sah serta penerus utuh sains islam. Sesungguhnyalah, al-afghani barargumen bahwa tidak ada perbedaan sifat dan karakter antara sains modern dan sains yang dihasilkan oleh para filosof saintis Muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar