Islamisasi
ilmu pengetahuan
Sifat
ketidaknetralan ilmu
Diskusi tenntang apakah ilmu itu
netral dalam arti bebas nilai atau tidak sudah berlangsung lama. Khairul umam
menulis, ssejak munculnya kembali paham teosentris, ilmuwan rasionalisme yang
bersikukuh dalam pendirinannya terus beerjuanng untuk membebaskan diri dari
mitos dan berusaha mngembalikan citra rasionalismenya. Pada zaman modern,
semangat tersebut semakin bangkit setelah Rene Descartes (1596-1650)
menyampaikan diktumnya yang terkenal cogito ergo sum yang artinya “aku berpikir
maka aku ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya
pengetahuan,rasiolah sanng raja pengetahuan dan ia harus tebebas dari
mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, credo, nilai, dan lain sebagainya.
Maka inilah yang kemudian melahirkan renaisans (yang berarti kelahiran kembali)
dalam ilmu pengetahuan serta diikuti Aufklarung(pencerahan) yang menandakan bangkitnya ilmu
pengetahuandengan prinsip dasar rasionalisme, netralisme, dan bebas nilai.
Ide ini berkembang sirinng dengan
berkembangnya sains dan teknologi di barat. Bermula dari para filsuf inggris seperti
david Hume (1711-1776) dan jhon locke(1632-1704) yang memberikan reaksi keras
terhadap pemikiran rasionalisme. Kemudian mendapat legitimasi pada zaman modern
kketika muncul filsafat filsafat positivisme yang dimotori oleh Auguste Comte
adalah ilmuwan penemu isltilah sosiolog dan kemudian dijuluki sebagai bapak
sosiologi modern. Comtelah yang memperkenalkan aliran positivisme dalam sains.
Diantara ciri-ciri positivisme
adalah bahwa ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang “bebas nilai” atau
ntral” itu objektif”. Inilah yang menjadi dasar prinsio filosfis pemikiran
positivisme. Paham ini mencob memberi garis demarkasi antara fakta dan nilai.
Fakta berdiri sendiri diluar nilai. Dengan begitu, subjek peneliti harus
mengambil jarak dengan realitas dan bersikap imparsial-netral.ciri lainnya
adalah”mekanisme” yaitu paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat
dijelaskan secara mekanikal-determinis,
seperti layaknya mesin.
Mulai abad ke-20 wacana tentang
paham positivisme sangat mendomminasi. Paham ini mempengaruhi para ilmuwan dan
mereka yang mepelajari ilmu. Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa
positivisme bukan hanya semacam wacana atau paham dalam cabang ilmu filsafat,
tetapi telah menjadi agama baru yang dianut para ilmuwan. Positivisme telah
dilembagakan di institusi-institusi pendidikan dan dijadikan doktri bagi
berbsgsi ilmu –ilmu yang berkembang dengan tetap berpegang teguh pada prinsip
bebas nilai dan obbjektif.
Selain masalah ilmu bebas atau tidak bebas nilai, di dunia
sains modern muncul istilah”objektif”. Maksudnya adalah masalah yang diteliti
mempunyai objek yang jelas, dalm hal ini objek fisik. Ilmu yang objeknya tidak
jelas-tidak fisik, maka dinilai tidak objektif. Ilmuwan atau peneliti yang
memasukkan ilmu nilai kedalam penelitiannya juga disebut “tidak objektif” .
Khairul menulis, untuk memperkokoh
pandangannya tersebut, positivisme menetapakan syarat bagi ilmu pengetahuan,
yaitu: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulaang (repeatable), dapat
di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable) dan dapat di/ter-ramalkan
(predictable). Dengan begitu, objek ilmu pengetahuan harus berupa fakta-fakta
empiris (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh manusia
“sebagai subjek utama dari ilmu itu sendiri” tidak dapat dikatakan sebagai ilmu
pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut metafisika.
Dari penjelasan diatas dapat
dipahami bahwa sedikit demi sedikit hal-hal yang bersifat metafisika, termasuk
yang di dalamnya agama, disingkirkan dari pembahasan sains. Sains terutama
sains alam haruslah nyata dan dapat diindera, baik langsung maupun menggunakan
alat. Selain itu, metode ilmiahnya pun sains mengac pada sesuatu yang bersifat
logis dan empiris.
Karakteristik sains menurut mereka
adalah bahwa ia harus didapat melalui metode ilmiah yang sudah baku, yaitu
metode logico-hypotetico-verificative. Mode ini terlebih dahulu mencoba mengkaji
pengetahuan dengan cara memikirkan sesuatu sesuai dengan aturan berpikir yang
logis, rasional atatu pikiran yang masuk
akal(logico), dan bukan melalui aturan kepercayaan atatu keyakinan-keyakinan
mistis. Kemudian dengan aturan berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapatditarik
hipotesis(hypothetico). Dari hipotesis tersebuktlah kemudian ilmu pengetahua
harus membuktikannya secara empiris (verificative).
Dengan demikian, menurut ilmuwan
barat empirisme dalam sains semakin mengarah
pada ide netralitas sains. Teori dan metode ilmiah dibangun dengan suatu
pandangan bahwa sains itu empiris, objektif,dan logis sehingga deengan begitu
bersifat netral.
Pada tahap selanjutnya paham
netralitas ilmu (sains) terus berkembang dan dikembangkan terus oleh para
ilmuwan sebagia ide dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Meski
kemudisn sempat terjadi pertarungan
sengit selama kurang 250 tahun diantara ilmuwan yang berpegang pada prinsip
“ilmu bebas nilai dan netral atau objektif, denngan ilmuan yang berkeyakinan
bahwa ilmuitu terikat oleh nilai, tidak netral dan penuh dengan keterkaitan
subjektif, namun pandangan netralitas ilmu teerus memenangkan idenya tersebut.
NATURALISASI
ILMU
Dengan
mengetahui dan mmenyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak netral maka sebagai
akibatnya ilmu pengetahuan akan dapat –dalam istilah sabra, dinaturalisasikan
dan di apropriasikan. Ilmu pengetahuan mengalami naturalisasi karena
terjadi akulturas dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru. Melalui
proses inilah ilmu tersebut kemudian menjadi tersimilasi secara penuh pada
tuntutan-tuntutan kebudayaan negeri tersebut, termasuk agamanya.
Mulyadhi
menulis dalam bukunya Menyibak Tirai Kejahilan bahwa proses naturalisasi ilmu
pengetahuan terjadi di mana saja dan kapan saja sepanjang sejarah perkembangan
ilmu. Misalnya, ketika peradaban Mesopotamia menerima pelbagai corak budaya (
bahkan agama)dari wilayah-wilayah di sekitarnya, di sana terjadi proses
asimilasi dan akulturasi yang pada akkhirnya menimbulkan corak budaya dan
peradaban Mesopotamia yang khas.
Demikian
juga ketika para filsuf awal yunani mengolah inforamasi ilmiah-filosofis yang
mereka himpun dari wilayah-wilayah sekitarnya. Khususnya Mesir dan Suriah.
Mereka megadakan pewargaan(naturalisasi) terhadap ilmu-ilmu yang mereka peroleh di sana dengan
corak khas pemikiran Yunani pada saat itu yang bersifat rasionalistis. Kita
tahu dari abul hasan al-Amiri, seorang filsuf muslim abad le-10, bahwa
pythagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir, sedangkan
belkajarmetafisika(al’ilm al-ilaahi)dari sahabat-sahabat Nabi Sulaiman.
Demikian
juga Empedokles, menurutnya, belajar filsafat dalam waktu yang cukup lama dari
luqman al-hakim, seorang filsuf masa
nabi Daud. Namun ketika kembali ke negerinya, empedokles dikatakan
mengembangkan ilmu yang diperollehnya itu sesuai dengan corak pemikirannya yang
khas. Oleh karena itu, kata al-Amiri, kita tidak perlu heran kalau pemikirannya
banyak yang bertenntangan dengan ajaran atau pandangan keagamaan gurunya.
Dengan demikian kirta dapat mengatakan bahwa para filsuf besarYunani seperti
pythagoras, Empedokles,Plato, dan Aristoteles telah melakukan naturalisasi
terhadap ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari sumber-sumber yang lebih awal, yang
biasanya dikatakan lebih bersifat mitologis daripada ilmiah, ke dalam sebuah
kerangka kerja ilmiah filosofis mereka yang lebih rasional.
Ilmuwan
musli terdahulu juga mmelakukan naturalisasi ilmu dengan menyerap dan
mengadaptasi ilmu-ilmu dari Yunani. Naturalisasiatau”islamisasi” awal islam ini
akan diuraikan pada bagian Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Ide
islamisasi ilmu pengetahuan muncul dari premis bahwa ilmu pengetahuan
kontemporer tidak bebas nilai (value-free), tetapi syarat nilai (value-laden).
Ilmu pengetahuan yang tidak netral ini telah diinfus ke dalam praduga-praduga
agama, budaya, dan filosofis, yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran
dan pengalaman manusia barat. Jadi, ilmu pengetahuan modern harus diislamkan.
Berbicara
tentang islamisasi, tidak bisa lepas dari peran pemikiran Syed Muhamad Naquib
al-Attas, penggagas awal ide islamisasi ilmu pengetahuan. Al-Attas menurut Wan
Daud, telah menemukan tiga di antara temuan ilmiah terpenting dunia islam abad
ini, yaitu problem terpenting yang dihadapi umat islam saat ini adalah masalah
ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai(netral), umat islam
perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini.
Islamisasi
ilmu pengetahuan kontemporer
Jauh setelah proses islamisasi ilmu
d awaliislam, umat islam mengalami kemunduran dan kemerosotan. Di pihak lain,
ilmu atau sains yang dikembangkan di dunia barat mengalami kemajuan yang sangat pesat dan signifikan.
Ssedangkan sains yang berkembang maju sekarang tersebut secara diametral
berbeda dengan ilmu dalam pandangan islam.
Kemerosotan umat akibat ilmu
pengetahuan, yang dalam istilah al-Attas disebut dengan ilmu pengetahuan
kontemporer. Telah diuraikan panjang lebar oleh para ilmuwan Muslim. Bahkan,
menurut Wan Daud, ada tiga diantara temuan ilmiah terpenting di dunia islam
ysng sangat berpotensi mempengaruhi perjakanan kehidupan umat islam secara
mendalam dan menyeluruh di abad ke-15 H ini, telah ditemukan oleh al-Attas,
yaitu,1)problem terpenting yang dihadapi umat islam saat ini adalah masalah
ilmu pengetahuan; 2) ilmu pengetahuan tidak bebas nilai (netral), sebab
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan dan filsafat, yang
mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia barat; dan 3) umat islam, oleh
karena itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan mengislamkan
simbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran.
Maka di akhir abad ke-20, dimulailah
upaya-upaya untuk mengislamkan ilmu pengetahuan yang digagas oleh beberapa
ilmuwan. Namun, sebelum masuk ke esensi islamisasi ada satu hal yag harus
diselesaikan mengenai penggunaan istilah dan definisi “islamisasi”.
Permasalahan
istilah dan definisi islamisasi
Istilah islamisasi sains islam
seringkali disalahpahami, bahkan oleh para ilmuwan itu sendiri. Bsgi sebagian
orang, sains adalah sains, dan sebagai mana tidak ada sains kristen atau sains
yahudi, begitu pula tidak ada sains islam.salah satu yang berkomentar seperti
itu adalah ilmuwan islam tersohor peneremima hadiah Nobel fisikaAbdussalam. Dia
berkata, “hanya ada satu sains universal, problemnya dan bentuk-bentuknya
adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains islam sebagimana tidak
ada sains hindu, sains yahudi, atau sains kristen.”
Di zaman modern, kebutuhan akan
istilah definitif “islami” tampak terlalu jelas dan gamblang bagi siapa saja yang
cukup akrab serta mengenal sains islami dan sains barat modern. Dua sains ini
tidak memiliki karakter dan filosofis yang sama. Timbul kebingungan diantara
sebagian besar kaum muslimin kontemporer tentang sifat dan karakter sebenarnya
dan juga tentangkaitan historis sesungguhnya dari dua sains tersebut. Dengan
sendirinya, ada kebutuhan nyata untuk memahami dengan benar masing-masing sifat
historisnya. Yang banyak dan amat ditekankan oleh para pendukung dan penyokong
muslim yang mempelajari sains modern duaratus tahun terakhir ini, mulai dari
Jamaluddin al-afghani dan sir sayyid akmad khan pada abad sembilan belas hingga
“keturunan”intelektual mereka dewaasa ini adalah klaim mereka bahwa sains
modern adalah pewaris settia dan sah serta penerus utuh sains islam.
Sesungguhnyalah, al-afghani barargumen bahwa tidak ada perbedaan sifat dan
karakter antara sains modern dan sains yang dihasilkan oleh para filosof
saintis Muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar