BAB II
PEMBAHASAN
A.
HASIL-HASIL YANG DI CAPAI DALAM TASAWUF
1.
EKSTASE (JUNUN)
Menurut pendapat beberapa kaum sufi, pencari kebenaran dengan
kebatinan yang intensif dan berhubungan dengan Tuhan itu melalui tingkat
ekstase, berangsur-ansur akan dapat mencapai suatu taraf, dimana ia
sungguh-sungguh dapat melihat “wujud Tuhan”. Langkah pertama bagi orang baru
ialah memasang “niat” (tekad atau maksud), kemudian bertobat (menyatakan
penyesalan atas dosa lalu menjauhinya). Kini ia dalam keadaan maju, tingkat ini
disebut mujahadah (ujian atau perjuangan).
Ada beberapa gambaran dan penjelasan mengenai tingkatan
spiritualitas yang dialami oleh para sufi dalam perjalanan menuju persatuan
dengan Tuhan, namun secara ringkas tingkatan-tingkatan tersebut dibagi menjadi
tiga tingkatan utama yaitu :
a.
“penyusutan”
(qabd) Diana dalam tingkatan ini aspek tertentu dari jiwa manusia harus mati.
Tingkatan ini berhubungan dengan kezuhudan dan kesalehan serta manifestasi atau
teofani (tajjali) Nama-Nama Tuhan.
b.
“perluasan”
(bast) yaitu aspek dari jiwa manusia mengalami perluasan sehingga melampaui
batas-batasnya sendiri hingga alam semesta berada di pelukannya. Tingkat ini
diiringi rasa gembira dan ekstase serta merupakan manifestasi dari Nama-Nama
Tuhan.
c.
Persatuan
dengan Yang Maha Benar (wisal bi la-Haqq). Pada tingkatan ini para ahli
ma’rifat tela melewati seluruh tingkatan (maqam) lainnya dan dapat merenungkan
Wajah Kekasih.
Ibn Ajibah
seorang sufi dari Tarekat Syaziiyah merangkum ajaran-ajaran spiritual dan
beberapa guru sufi dengan menggambarkan empat tingkatan yang berurutan dari
sebuah pendekatan untuk mencapai ekstase dalam menggunakan as-sama’
a.
Tawajjud
(mencari ekstase) yaitu orang yang telah bersumpah menolak dunia secara total.
Kemudian ia menari, bergerak ritmis, dan sebagainya secara metodis, meniru
tampilan emosi ekstase (wajd) mensimulasikan ekstase dan mengulang
gerakan-gerakannya untuk merespon panggilan hati.
b.
Wajd
(ekstase emosi) yaitu dalam diri seseorang mendengar apa yang menimpa hati dan
menguasainya secara tiba-tiba tanpa orang harus mengupayakan, bisa berupa hasrat yang menggairahkan dan
menggelisahkan atau satu kecemasan yang menakutkan.
c.
Wijdan
(ekstase pertemuan) tingkatan ini dicapai ketika seseorang telah merasakan
indahnya kehadiran yang semakin lama dan sering disertai dengan mabuk dan
pingsan.
d.
Wujud
puncak dari ritual ini dan Ibn Ajibah mengatakan : “ketika perempuan ini
selesai sampai rasa pingsan dan segala halangan lenyap dan segala pengetahuan
dan meditasi tersucikan, terjadilah ekstasi ( wujud), satu saat yang disinggung
oleh la-Junaid dalam sair berikut “ Ekstasiku adalah ketika aku memindah
diriku dari eksistensi melalui anugerah dari Dia yang menunjukan padaku
kehadiran” ”
2.
KARAMAH
a.
Makna
karamah secara bahasa
Berasal dari
kata karuma” dengan huruf ra yang berharakat dhammah,masdarnya adalah “karaman”
dengan fathatain (dua fathah) Kata karamah bila diidentikkan dengan sesuatu
yang berharga dan berwibawa maka dikatakan sebagai sesuatu yang mulia.
Contohnya dalam kalimat, “bagiku, ia adalah orang yang memiliki kemuliaan atau
kewibawaan”. Segala sesuatu yang dipandang mulia berarti ia memiliki sifat
kemuliaan. Seseorang tidak dikatakan sebagai orang yang mulia sebelum terlihat
pada dirinnya akhlak dan perbuatan yang terpuji.
b.
Makna
karamah berdasarkan syariat
Nampaknya hal-hal luar biasa pada
diri seseorang yang tidak membawa risalah kenabian, atau tidak relevan dengan
prinsip-prinsip keimanan dan amal shalih, maka hal itu dikatakan
(istidraj”(kejadian sesuatu yang diluar kebiasaan manusia pada umumnya).adapun
bila hal itu ada pada seseorang yang membawa risalah kenabian, maka hal luar
biasa tersebut disebut sebagai sebuah “mukjizat”.
Adapun karamah menurut para ulama
atau tauhid adalah sesuatu yang luar biasa yang tidak diiringi oleh risalah
kenabian, ia (karamah) juga bukan merupakan pengantar yang mengindikasikan
kearah misi kenabian tersebut, dimana hal-haal luar biasa tersebut tampak pada
seorang hamba yang jelas-jelas shalih dan patuh mengikuti syariat-syariat yang
dibebankan kepadanya, yang diiringi dengan keyakinan yang benar dan amal
shalih, baik hamba tersebut menyadari bahwa ia memiliki kemampuan luar biasa
tersebut atau tidak menyadarinya.
1.
Syarat-syarat
karamah
Dalam kitab bustanul arifin,
an-Nawawi membuat ketentuan sebagai berikut,
“agar karamah itu tidak menjadi
bagian dari salah satu dasar dari dasar-dasar agama yang telah ditetapkan, maka
sebagaimana yang telah diemukakan oleh abu ishaq dalam kitab al-muwafaqat,
bahwasannya karamah itu tidak sah diistilahkaan dan dideskripsikan, kecuali
dengan dua syarat, yaitu:
Pertama: tidak menyalahi hukum
syariat
Kedua: tidak menyalahi hukum agama.
Maka jika tedapat sesuatu hal yang
luar biasa yang bertentangan dengan kaidah agama atau hukum syariat, maka hal
tersebut tidak layak dikatakan sebagi bagian dari karamah. Bahkan ia dianggap
hanya sebagai sebuah khayalan,angan-angan, dan bagian darihembusan syaitan.
2.
Standar
batasan karamah
Dalam menetapkan standar ukuran
karamah para wali, kami tidak memberikan batasan ketetapan Allah dengan
kemampuan logika. Akan tetapi kami menetapkannya berdasarkan prinsip-prinsip
syariat, dan kami juga tidak berusaha mengenyampngkan apa yang telah diajarkan
Allah kepada kami bahwa mennetapkan standar ukuran karamah adalah keistimewaan
yang hanya dimiliki oleh Allah. Hal tersebut dimaksudkan agar kami tidak
terjebak dalam sikap berlebih-lebihan yang pada gilirannya hanya berakhir pada
perbuatan syirik kepada Allah SWT. Naudzubillah.
Sebuah karamah bukanlah bukti bahwa
seseorang dianggap sebagai seorang wali, karena istilah karomah itu sendiri
masih ssamar pengertiannya bagi kebanyakan orang. Ada orang yang menganggap
dirinya sebagai wali padahal ia tidak memiliki karamah apapun. Akan tetapi yang
benar adalah kewalian adalah suatu bukti bahwa seseorang memilii karamah.
Karamah sendiri tidak memiiliki pengaruh apapun dalam hukum syariaat. Akan
tetapi karamah itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh abu ishaq dalam kitab
al-muwafaqat, “ bertujuan agar yang bersangkutan bertambah yakin dan lebih
mengenal Allah SWT, serta memberikan kekuatan untuk dapat lebih mengetahui
kewajiban apa saja yang harus mereka laksanakan terhadap-Nya.” Ungkapan ini
adalah penjelas dari ucapan abu al-hasan asy ayadzali saat ia mengatakan,
Bahwasannya karamah itu ada dua bagian:
1.
Karamah
berupa keimanan, berupa bertambahnya keyakinan dan lebih dapat mengetahuui
kebenaran.
2.
Karamah
berupa amal perbuatan untuk mengikuti jalan yang benar, dan menjauhi segala
tipu daya. Maka bagi mereka yang telah dianugerahi dua macam bentuk karamah
itu, lantas ia berpaling kepada selain keduanya, maka ia adalah seoarang hamba
pembohong dan pendusta. Ilmu yang dimilikinya adalah keliru, dan amal
perbuatannya jauh dari kebenaran. Adapun dasar dari pendapat ini adalah firman
Allah SWT
4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ÇÊÌÈ
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu.”(QS. Al-hujurat : 13)
Menetapkan
bahwa suatu peristiwa tertentu adalah sebuah karamah
Kaum ahlus sunnah meyakini bahwa karamah-karamah tertentu memeng
pernah dialami oleh wali Allah tertentu. Diantara contoh tersebut adalah sebuah
kejadian yang dialami seorang sahabat yang mulia bernama Usain bin Khudair
Radhiallahu Anhu. Konon, setiap kali ia membaca surah al-kahf maka turunlah
dari langit semacam bayangan sepertipelana unta, yang tiada lain adalah para
malaikat yang sedang mendengar bacaannya.begitu juga dengan Abuj Bakar Ash
Sidiq Radhiallahu Anhu, ketika ia membawa tamunya mengunjungi rumahnya, ia
tidak mempunyai makanan kecuali hanya sesuap makanan saja. Akan tetapi ia
menemukan makanan yang lebih banyak dari itu, hingga mereka semua merasa
kenyang., bahkan makanan tersebut menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Dua
riwayat ini terdapat dalam shahih bukhari pada bab “tanda-tanda kenabian dalam
islam.”
Syaikhul
islam ibnu Taymiyyah berpendapat tentang
al-khawariq(kejadian yang laur biasa), hal-hal luar biasa yang dialami oleh
manusia selain para nabi, merupakan dari kasyaf dan al-ilmu.. misalnya umar
dalam peristiwa perjalanan malam. Juga prediksi yang tepat dari Abu bakar bahwa
janin yang ada dalam perut istrinya adalah seorang perempuan. Demikian pula
prediksi jitu dari ummar bahwa anak lelakinya kelak menjadi seorang yang adil.
Juga kisah sahabat musa (nabi khaidir) yang mengetahui masa depan seorang anak
muda. Ada juga peristiwa luar biasaseperti yang terjadi dalam kisah berdasarkan
informasi dari al-Qur’an, kisah para penghuni gua (ash-habul kahfi), kisah
maryam, kisah khalid bin walid, perahu pelayan Rasulullah SAW.,Abu muslim
al-khaulani, dan masih banya lagi contoh lainnya.
Adapun kemampuan seseorang yang
tidak berkaitan dengan perbuatannya sendiri, contohnya adalah seperti
pertolongan Allah kepada orang yangg
membela agama-Nya, dan kebinasaan dari-Nya bagi orang yang mencela agama-Nya.”
Ahlus sunnah wal jama’ah meyakini
adanya mukjizat dan hal-hal yang luar biasa sebagaimana yang diriwayatkan dalam
hadits-hadits shahih, tanpa adanya
pemalsuan, yakwil, dan juga penghapusan, karena tidak ada yang dapat menandigi
kekuatan Allah SWT. Dialam semesta ini
baik di langit maupun di bumi.
Adapun hal-hal luar biasa yang
dinisbatkan oleh para ahli kufarat, para pemuja kuburan, dan anggota aliran
kebatinan kepada para syaikh dan pemimpin mereka- jika mremang benar ada- maka
hal itu merupakan hasil pekerjaan syaitan.
3.
Ilmu Laduni (Ladunni)
a. Pengertian Ilmu Laduni (Ladunni)
Kata laduni (Ladunni), berasal dari bahasa Arab, akar kata dari
ladun/ laday, berarti dekat/ pangkuan. Banyak Ulama dan Sufi memberikan
pengertian Ilmu Laduni, pengertian berbeda namun, memiliki hakikat makna yang
sama.
Beberpa pengertian ilmu laduni yang dimaksud adalah:
Abdul Qadir Jailani dan al-Jilli memberikan pengertian ilmu laduni
sebagai ilmu rohani dan pengetahuan hikmah (kebijakan) yang diperoleh melalui
perbuatan kontinyu, dalam waktu lama dalam hal kebaikan dan kesalehan amal ibadah.
Pengertian Ilmu Laduni menurut al-Ghazali adalah ilmu yang dipancarkan langsung oleh Tuhan ke lubuk hati
manusia tanpa proses belajar terlebih dahulu dan tanpa proses metode ilmiah.
Menurutnya lahirnya ilmu laduni, melalui kasyf atau ilham.
Ibn Arabi menjelaskan pengertian ilmu laduni dalam kitab Futuhat al-Makiyah,
yaitu ilmu yang terpancar ke dalam hati manusia, tanpa diusahakan dan tanpa
menggunakan argumentasi aqliyah (argumentasi pikiran). Pengertian ilmu laduni
Ibnu Arabi, setidaknya memiliki kemiripan dengan pengertian ilmu Laduni
al-Ghazali, namun sifatnya lebih mendasar. Jika tak menggunakan argumentasi
Aqliyah, bagaimana mungkin melahirkan proses pembelajaran.
Al-Qusyairi dan al-Harawi memberikan pengertian Ilmu Laduni sebagai
sesuatu yang diterima seseorang dengan jalan ekstase dan kasyaf
(ketersingkapan). Dalam kitab karangan al-Harawi, Manazil As Sairin, disebutkan
bahwa Ilmu Laduni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah ke dalam hati tanpa sebab
yang dilakukan seseorang hamba tanpa menggunakan dalil-dalil. Sebab yang
dimaksud adalah sebab yang disengaja, atau usaha untuk mendapatkan ilmu Laduni.
Abu Hamzah As-Sanuwi, meberikan pengertian ilmu Laduni dan
pengertian ini kemudian menjadi trend dan dimuat oleh wikipedia. Menurutnya
ilmu Laduni terbagi menjadi dua. Pertama, ilmu yang didapat tanpa proses
belajar, biasa diistilahkan dengan ilmu wahbiy. Kedua, ilmu yang didapat
karena proses belajar, dan biasa diistilahkan dengan ilmu kasbiy.
Adapun ilmu yang diperoleh melalui proses belajar, yaitu ilmu
Syariat, dan ilmu Makrifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib
melalui jalan kasyaf. Kasyaf inilah yang dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di
kalangan ahli tasawwuf.
Sedangkan ilmu yang diperoleh melalui proses belajar, adalah usaha
mendapatkan pengetahuan seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar,
meneliti, dan seterusnya.
Pengertian ilmu Laduni menurut penulis, berdasarkan pengertian ilmu
Laduni tersebut, ilmu yang bersumber langsung dari Tuhan, di berikan pada
manusia, melalui ilham dan tanpa perantara, dan didapatkan tanpa usaha yang
disengaja total untuk mendapatkan ilmu tersebut.
b.
Ilmu
Laduni dalam Islam
قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ
لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mereka
menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” ( QS Al Baqarah : 32 )
Diantara pelajaran yang bisa diambil dari ayat di
atas adalah :
Bahwa semua ilmu yang dimiliki makhluq hidup di
bumi dan di langit adalah ajaran dari Allah swt, termasuk ilmu yang dimiliki
oleh manusia. Dengan demikian, kita katakan bahwa semua ilmu yang dimiliki oleh
manusia adalah Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang berasal dari Allah swt . Timbul
suatu pertanyaan, apa sebenarnya hakikat ilmu laduni menurut pandangan Islam ?
apakah seperti yang sering di pahami orang-orang sufi selama ini atau ada arti
lain yang lebih benar.
Menurut Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu laduni dalam
pengertian umum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa
belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy). Bagian
pertama, bagian pertama ini, terbagi menjadi dua macam:
1.
Ilmu
Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan
kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang
langsung dri Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi
semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga
nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang
diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
tentang Khidhir:
فَوَجَدَا
عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن
لَّدُنَّا عِلْمًا“
Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir
alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam:
“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari
ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan
engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu
yang aku tidak mengetahuinya juga.”
Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya,
wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf sampai datang ajal
kematiannya.
2.
Ilmu
Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf
(wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh
Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih.Ilmu kasyf inilah yang
dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf.
Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu
syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab
hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.
Bagian Kedua
: Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan
kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca,
menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan
kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu
syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap
apabila menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam
Islam.
Bagaimana Ilmu Laduni menurut orang-orang sufi ?
Ilmu Laduni menurut Sufi adalah sebagai berikut :
1/ “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang
khusus diberikan oleh Allah kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka,
lebih-lebih ahli hadits, tidak bisa mendapatkannya.
2/ “Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama
daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi
Khidlir alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah ilmu
wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf (hakikat).
Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan: “Seorang yang alim itu
bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal
ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya
dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar.
Inilah ilmu Rabbany.”
3/ Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu
merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi
kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf,
langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya.
Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil
Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
Untuk menafsirkan sebuah ayat atau untuk
mengatakan derajat suatu hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat),
namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka ”Hatiku
memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya
sendiri, langsung tanpa perantara apapun.”
Sehingga, akibatnya banyak hadits palsu menurut
ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini
kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan
ahli kasyf (tasawwuf).
Salah satu fenomena Ilmu Laduni yang terjadi
dimasyarakat adalah apa yang di alami oleh seorang kyai salah satu pendiri
Pondok Pesantren di salah satu kota di Jawa Timur .Kyai yang mempunyai 150-an
santri itu mengaku bahwa dirinya mempunyai Ilmu Laduni . Dengan Ilmu Laduni
yang dimiliknya, sang kyai tersebut mengaku mampu mengajarkan seseorang untuk
menguasai berbagai bahasa dengan tanpa bantuan alat pun, baik video, kaset
bahasa asing, laboratorium bahasa, apalagi native speaker. Tetapi cukup para
muridnya menjalani beberapa ritual, seperti mandi dan membaca beberapa do’a dan
sebagainya. Seseorang yang ingin belajar dengan sang kyai ini dipungut biaya Rp
1 juta. Atau Rp 350.000, tergantung pada level yang ia masuki .Sang kyai
tersebut mengaku mendapatkan ilmu laduni itu dari Nabi Khidir AS melalui ritual
tirakat (lelaku, bertapa). Tirakat tersebut dimulainya sejak usia tujuh tahun.
Dan biasanya dilakukan di tepi laut sambil mencari ikan. Pada usia sekitar 12
tahun, sang kyai tersebut mengaku bertemu dengan Nabi Khidir AS di tepi laut.
Dalam pertemuan itu, menurutnya bahwa wujud Nabi Khidir AS berupa seorang
manusia yang mengenakan pakaian seperti rakyat biasa. Kemudian nabi Khidir
mengangkatnya sebagai muridnya. Bantahan Singkat Terhadap Kesesatan di atas :
1. Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli
tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimulyakan oleh
Allah dengan ilham. Abu Bakar radhiallahu anhu diilhami oleh Allah bahwa anak
yang sedang dikandung oleh isterinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan
ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi
kenyataan. Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa ilham atau ilmu Ilahi itu termasuk
sebagian balasan amal shalih yang diberikan Allah di dunia ini. Jadi tidak ada
dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum,
seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam:”Barangsiapa mengamalkan ilmu
yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.”
(Al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Anas radhiallahu anhu,
hadits dhaif).
Ini sesuai juga dengan firman Allah swt dalam surat Al Baqarah : 282
وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ
اللّهُ
“ dan bertaqwalah kamu kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu”
Firman Allah di dalam surat Al Hijr : 75
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ
لِّلْمُتَوَسِّمِينَ
“ Dan sesungguhnya pada peristiwa tersebut ( hancurnya kaum Luth )
merupakan tanda bagi orang- orang yang mempunyai firasat “
Perlu di garis bawahi disini, bahwa orang yang
punya kelebihan tersebut tidak akan mengaku- ngaku atau mengumumkan ilmu yang
ia miliki di depan umum, apalagi sengaja untuk dikomersialkan demi mencari
kekayaan dunia. Sungguh hal ini tidak sesuai dengan ruh ajaran Islam yang mengajarkan
uamtnya untuk tidak riya’, apalagi menggunakan agama sebagai kendaran untuk
mencari dunia.
2.
Nabi
khidir – menurut sebagian para ulama- diutus kepada kaum tertentu, sebagaimana
nabi Musa as hanya diutus kepada bani Israil. Dan suatu hal yang sangat wajar
sekali, apabila di satu zaman ada dua nabi atau lebih. Buktinya ? Dalam surat
Yasin ayat 13-14, Allah berfirman :
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلاً أَصْحَابَ
الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءهَا الْمُرْسَلُونَ إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ
فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُم مُّرْسَلُونَ
“ Berikan ( wahai Muhammad ) kepada mereka sebuah permitsalan para
penduduk suatu negri , ketika datang kepada mereka para utusan Allah . Ketika
Kami utus kepada mereka 2 orang rosul, maka mereka mendustakan keduanya, maka
Kami perkuat dengan rosul yang ketiga, mereka berkata ; “ Sesungguhnya kami
adalah utusan Allah kepada kamu sekalian “
Contoh yang lain adalah nabi Ibrohim, Ismail, Ishaq dan nabi Luth mereka
hidup dalam satu zaman, begitu juga nabi Daud dan Sulaiman, nabi Ya’qub dan
Yusuf , nabi Musa , Harun dan Syu’aib, dan terakhir nabi Zakaria, Isa dan
Yahya.
3.
Nabi
Khidir as juga bukan pengikut nabi Musa as dan tidak diperintahkan untuk
mengikutinya , sehingga boleh-boleh saja bagi nabi Khidir berbuat tidak seperti
apa yang diajarkan nabi Musa as, karena setiap nabi mempunyai manhaj dan
syareah yang berbeda-beda. Kemudian setelah itu datang seseorang mengaku
sebagai wali Allah dan mempunyai ilmu laduni , sehingga membolehkan dirinya
keluar – atau tidak mengikuti syareah yang di bawa nabi Muhammad saw. Jangankan
dia….yang namanya nabi Isa as saja, nantinya kalau turun ke bumi lagi untuk
membunuh Dajjal, akan ikut dan patuh dengan syareat nabi Muhammad saw
4.
Adapun
pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasalam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu),
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami
Al-Kitab dan As-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan ada orang selain
Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang mengambil ilmu langsung dari Allah kapan
saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.
5.
Anggapan
bahwa ilmu syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan
untuk merusak Islam. Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan
kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari
cahaya Islam.
6.
Anggapan
bahwa dengan “ilmu laduni” sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh
ulama Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan: “Setiap
hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”
7.
Seseorang
yang mengaku mendapatkan Ilmu Laduni, sebagaimana yang di dapat oleh Nabi
Khidir as, sama saja ia mengaku mendapatkan wahyu dari langit, karena yang
didapat nabi Khidir adalah wahyu. Seseorang bisa mengetahui ilmu ghoib dengan
perantara Jin atau Syetan , karena Jin dan Syetan sering mencuri pendengaran
tentang hal-hal ghoib dari langit. Sebagaimana firman Allah didalam surat Al
Hijr : 17-18,
وَحَفِظْنَاهَا
مِن كُلِّ شَيْطَانٍ رَّجِيمٍ إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ
شِهَابٌ مُّبِينٌ“
Dan Kami jaga langit2 tersebut dari syetan yang
terlaknat, kecuali mereka yang mencuri pendengaran ( dari hal2 yang ghoib ) ,
maka dia akan dikejar oleh batu api yang nyata “
Ayat – ayat senada juga bisa dilihat di dalam
surat As Shoffat :10 dan Surat Jin : 9.
8.
Seseorang
yang mengaku mempunyai ilmu laduni dengan perantara ilmu-ilmu kanuragan ( ilmu
kesaktian ) yang ia dapatkan dengan latihan-latihan tertentu, seperti bertapa
di tengah sungai selama 40 hari 40 malam, atau puasa selama 40 hari
berturut-turut, atau dengan hanya makan nasi putih saja tanpa lauk dalam jangka
waktu tertentu atau dengan cara-cara lain yang sering dikerjakan sebagian
orang. Maka kita akan tanyakan kepadanya, apakah cara-cara seperti itu pernah
diajarkan oleh Rosulullah saw dan para sahabatnya atau tidak ? kalau jawabannya
tidak, berarti dia mendapatkan ilmu tersebut dengan meminta bantuan dari jin
dan syetan.Sebagaimana seseorang bisa menjadi kaya mendadak dengan meminta
bantuan Jin dan Syetan. Perbuatan seperti ini dilarang oleh Islam, sebagaimana
firman Allah didalam surat Jin : 6
وَأَنَّهُ
كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ
رَهَقًا
“ Dan sesungguhnya ada diantara manusia yang meminta perlindungan dari
segolongan Jin , maka segolongan Jin itu hanya aka menambah kepada mereka
kesusahan. “
Kita dapati banyak orang pada zaman sekarang yang
memelihara Jin untuk memperoleh kekayaan dengan cepat, tetapi yang mereka
dapatkan hanyalah kesusahan. Mereka akhirnya mati secara mengenaskan karena
menjadi “ tumbal” Jin yang ia pelihara. Sungguh Maha Benar Allah dengan segala
firmanNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar