Oleh fahrizal Muhammad
(Master trainer MHMMD Trainer center)
S
|
uatu hari seorang teman
bertanya, “Mas Rizal, bisa gak ya, aku postpone hidup? Lagi overload, nih. Aku nyesel,
Dulu aku nggak belajar sungguh-sungguh. Sekarang kerjaku serabutan tanpa masa depan.
Aku sekarang sering kasar sama orang tua. Sekarang mereka sudah nggak ada. Aku
khawatir, gimana masa depan
anak-anakku??”
Penyesalan
masa lalu, keinginan postpone masa kini, dan kecemasan masa depan
berkelindan dalam waktu kita. Sebagai makhluk berdimensi waktu, keinginan
bermain-main dengan entitas waktu terasa begitu menggoda. Namun ternyata, keluar sejenak dari putaran
waktu, kembali ke masa lalu, atau menjenguk masa depan tidak (atau belum?) bisa
kita lakukan. Kita dalam kesubliman hakiki terhadap waktu.
Waktu tidak bisa diurai dari hidup kita. Kita ada di dalam
dan bersamanya. Sejatinya, bersamanyalah kita menandai sejumlah titik dalam
perjalanan kehidupan: lahir, ulang tahun, nikah, pindah rumah, pergi haji,
melahirkan, wisuda, naik pangkat, dan lain sebagainya. Bersamanya pula kita
tertawa dan menitikkan air mata.
Dialah aset penting. Kita memiliki waktu yng sama dalam
sehari. Tak seorang pun punya hak istimewa dihadapan sang waktu. Ingatlah,
tidak ada orang yang diperlakukan tidak adil dalam waktu (QS. Al-faatir
:35:37). Oleh karena itu, wajar bila diperuntukannya akan dipertanyakan ketika
kita kembali kehadapan Allah.
Rasulullah SAW bersabda, ”tidak bergeser kaki seorang
hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara: umurnya untuk ada
dihabiskan, ilmunya untuk apa diamalkan, hartanya dari mana didapatkan dan ke
mana dibelanjakan, hartanya dari
mana didapatkan dan ke mana
dibelanjakan, dan badannya untuk apa digunakan.”(HR. Tirmidzi)
Sebagai aset, waktu tidak bisa dipinjamkan dan
diperjualbelikan. Dialah kemutlakan dan kerelatifan. Private sekaligus public.
Hubungan kita dengan waktu pun sangat unik. Kita tidak bisa seenaknya “ keluar
masuk” dalam waktu. Jadi, wajar bila sejak dulu mausia teropsesi untuk
“menaklukkan” dan “melipat” waktu: menengok masa lalu atau mengintip masa
depan.
Life is journey
Hidup adalah sebuah perjalanan.
Perjalanan yang baik adalah perjalanan dengan titik destinasi yang tegas. Kita
dituntut untuk tidak memberi ruang sedikit pun terhadap godaan yang akan melengahkan
kita untuk memanfaatkan waktu yang ada secara maksimal.
Perjalanan ini sangat menarik. Pertama, ia membekali
seseorang dengan sejumlah rambu tanpa paksaan. Kitab suci dan sejumlah kisah
teladan menjadi kumpulan rambu tersebut. Kedua, ketidakterikatan memberi
ruang pilihan yang sangat tidak terbatas kepada manusia. Perjalanan ini mesti
ditempuh dengan kecerdasan dan kemurnian. Ketiga, perjalanan ini sangat
berbatas waktu, dan seseorang tidak pernah tahu sampai kapan batas waktu yang
tersedia. Penuh teka-teki dan misteri. Namun optimisme harus tetap dipelihara,
secemas apapun hati akan ancaman ”kehabisan waktu.”
Persoalannya sekarang, segenap simbol pada ”manual” manusia
bersifat sangat universal. Oleh karena itu, setiap orang pasti membuat blue print perjalanan
hidupnya Sendiri. Membuat route yang diyakininya akan memberikan kebahagiaan.
Untuk itu, mereka merasa perlu membuat sebuah peta. Peta hidup, namanya.
Peta hidup akan memuat dua perjalanan. Pertama,
perjalanan “fisik” mengarungi ruang dan luasnya bumi Allah. Inilah makna
perjalanan yang paling umum. Seseorang berada dalam satu kondisi dan suasana
menempuh jarak tertentu untuk mengunjungi sejumlah tempat dalam kurun waktu
tertentu. Perjalanan Ibnu batutah dan Maroko, misalnya.
Kedua, perjalanan mengarungi samudra kehidupan sejak
lahir sampai meninggal dunia. Dalam perjalanan itu, kita bertemu dengan
sejumlah permasalahan dan rasa, bertemu sejumlah manusia dalam berbagai relasi
dan kepentingan, mengalami berbagai pergantian kondisi alam dan iklim, dan
menjadi pelaku atau saksi sejarah. Akumulasi perjalanan hidup inilah yang
membentuk karakter kita.
Kini kita ditantang untuk menuliskan perjalanan itu: masa
lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu garis lurus. Berbagai hal yang
pernah singgah dalam hidup, muncul sebagai mozaik kehidupan. Berbagai simbol
setiap episode perjalanan hidup, hadir sebagai medium. Jika kita merangkainya
dengan keikhlasan, maka akan tampak keutuhannya. Nah, sahabatku, tunggu
apalagi, mari tulis peta hidup kita! WaAllah A’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar