Syarat laki-laki dan
hak politik bagi perempuan
Kita sering mendengar
syarat laki-laki”dalam kewenangan dalam pembahasan ulama-ulama fiqih terdahulu
dan sekarang, dengan beragam perbedaan seputar masalah itu.sebagai mana kita
juga dapat menemukan syarat itu dalam kewenangan peradilan.
Namun mayoritas ulama mensyaratkan laki-laki dalam
kepemimpinan besar berdasarkan nash hadis yang berbunyi : tidak akan beruntung
suatu kaum, jika yang mengurusi perkara mereka itu perempuan.
Ketika pembahasan kita tentang “ majelis permusyawaratan”
secara khusus, maka ruang lingkuup pembahasannya berkisar pada problem
persamaan hak politik bagi perempuan dalam islam yang tersimpul secara khusus
dalam dua masalh berikut.
1. Hak
perempuan dalam pemilu
2. Hak
perempuan dalam pencalonan diri untuk menjadi dewan legislatif.
Peneliti tema hak-hak
politik wanita dalam islam pasti akan menemukan dua pendapat yang berbeda
tentangnya, yang masing-masing dari dua pendapat itu bersandar dengan
dalil-dalil dari al-qur’an dan sunah.
1. Islam
tidak mengakui prinsip persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hak-hak
politik.
2. Islam
tidak menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak politiknya, sekalipun ada
segolongan dari golongan-golongan yang berpendapat demikian, yang menyatakan
bahwa masyarakat kita belum memiliki persiapan jika perempuan dimasa sekarang
menggunakan hak-hak politik itu. Oleh karena itu, masalah ini menjadi masalah
sosial yang ditentukan oleh tuntutan-tuntutan situasi dan kondisi lingkungan
sosial, ekonomi, dan politik serta pandangan-pandangan etika dan politik. Adapun yang jelas,
walaupun bagaimana keadaannya, masalah ini bukanlah masalah keagamaan atau
fikih, ataupun undang-undang. Ini menurut kami.
Agar tidak menyimpang
jauh, dalam penjelasan sudut pandang kami pada tema ini, kami melihat dan kami
sependapat dengan mereka yag berpandapat dengan pendapat yang kedua. Perlunya
menyebutkan beberapa dalil yang dijadikan sandaran untulk mereka yang berpendapat
berbeda (pendapat pertama), dan perlunya kami mengutarakan perti,bangan-pertimbangan
terhadap dalil-dalil itu. Perlu juga kami menerangkan kelemahan dalil-dalil
tersebut dan sebab kami mengatakan bahwa dalil-dalil itu lemah.
Kami juga melihat
perlunya menyampaikan pendapat kami dalam tema ini. Dieperkuat darri dalil-dalil
dari al-qur’an dan sunnah yang menurut kami kuat.
Di antara dali yang
paling jelas yang digunakan oleh mereka yang berkata bhwa islam tidak mengakui
prinsip persamaan perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik, yang
diantaranya hak dalam memilih dan hak untuk dipilih sebagai anggota legislatif.
1. Firman
Allah SWT : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian yang lain (wanita). (Q.S. An-Nisa’(34)
Dewan legislatif menempati tempat
“pemimpin “ diseluruh negara, sebab dewan ini yang memegang kemudi.
Al-Maududi berkata: “sesungguhnya Al-quran tidak
membatasi kepemimppinan laki-laki atas perempuan di dalam rumah, dan memimpin
sebuah negara lebih berbahaya dan lebih bwesar tanggung jawabnya dibandingkan memimpin
sebuah rumah. Dengan dmeikian, tertolalah
pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan hukum dalam ayat itu
berhubungan dengankehidupan bebrumah tangga, tidak dengan politik sebuah
nagara. Fatwa universitas Al-Azhar mengatakan bahwa syariat Islam menyamakan
antara perempuan dan laki-laki dalam hal-hal yang berhubungan denganwewenang
khusus dan bertindak dalam ruang lingkup urusan khususnya. Syariat islam tidak
mengakui perempuan menjadi anggota parleemen sebab keanggotaan parlemen itu
termasuk keanggotaan umum ini hanya untuk laki-laki, dengan catatan mereka
mempunyai syarat-syarat tertentu.
Syariat islam juga tidak memberikan untuk perempuan
hak ikut serta dalam pemilu, dengan dalih bahwa dibalik penetapan hak ikut
serta dalam pemilu itu, ada tujuan agar perempuan dapat membuat satu
undang-undang yang dapat mengakuui keanggotaan perempuan dalam parlemen. Maka,
tiidak boleh membukakan jalan bagi perempuan untuk sampai kepada mendapatkan
hak ikut serta dalam pemilu. Ini sesuai dengan asas yang telah ditetapkan dalam
syariat dan perundang-undanganbahwa sarana untuk mencapai sesuai dihukumkan
sama dengan sesuatu yang akan dicapai itu.
Dalil selanjutnya, seperti yang telah dikemukaakan
oleh al-maududi, firman Allah SWT: dan hendaklah kamu (wanita) tetap dirumahmu,
dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah
yang terdahulu. (QS. Al-Ahzab (33) : 33)
Ayat ini membatasi ruang kerja perempuan dengan
kalimat-kalimat yang sangat jelas. Ini adalah tafsiran yang benar untuk ayat
ini.
Al-maududi juga menyebutkan beberapa hadis yang
menurutnya memberikan dispensasi bagi perempuan untuk tidak mengurusimasalah
yang bukan politik dan hukum yang jelas
hal itu telah keluar dari ruang lingkup kerja perempuan. Seperti shalat jum’at
adalah hak yang wajib ditunaikan atas stiap muslim dengan berjamaah, kecuali
untuk empat orang: hama sahaya,perempuan, anak kecil dan orang yang sakit. Dari
ummu athiyah, dia berkata : “kami dilarang untuk mengiringi
jeenazah.”sesungguhnya apa yang diperintahkan oleh Allah kepada isteri-isteri
Rasulullah SAW. Dari sopan santun dalam firman-Nya kepada mereka, juga
diperintahkan kepada seluruh perempuan. Seluruh perempuan umat seperti mereka
juga dalam sopan santun ini. Sedangkan firmannya yang berbunnyi : kamu (istri-istri nabi SAW.) sekalian
tidaklah seperti wanita yang lain. (QS. Al-ahzab (33):32) mkasudnya : perempuan
lain tidaka ada yang bisa memandangi kalian dalam keutamaan dan kedudukan.
Kekhususan kedudukan mereka ini tidak bertentangan dengan keumuman perintah
Allah yang meemrintahkan mereka untuk menjaga sopan santun, yang juga
diperintahkan kepada perempuan-perempuan mukmin secara umum. Terkadang
al-qur’an menyebutkan perempuan dengan
jelas sebagaimana juga dengan laki-laki, dalam hal keimanan dan apa yang dijanjikan
oleh Allah berupa ampunan dan pahala yang besar. Allah SWT berfirman:
sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
mukmin... (QS.Al-Ahzab(33) : 35)
Walaupun begitu, firman yang ditujukan kepada
istri-istri Rasulullah SAW. Tetap menjadi satu kekhususan yang dipastikan oleh
jelasnya arah firman kepada mereka dan kepada perempuan-perempuan lainnya
dalamfirman-Nya : hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh ubuh mmeereka. (al- ahzab (33): 59)
Dengan memperhatikan fikih ayat tersebut, kamii
dapat menyimpulkan bahwa perintah AllahSWT kepada istri-istri Rasulullah SAW.
Untuk selalu berada dirumah-rumah mereka dan tidak keluar tanpa ada keprluan,
sebagaimana yng tercantum dalam firman-Nya : dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu, merupakan perintah yang khusus untuk mereka. Maka itu tidak betul
dijadikan dalil bahwa islam tidak memberi hak-hak politik untuk perempuan,
sebagaimana yang dikatakan oleh mereka yang berpendapat deikian seperti al-maududi dan lainnya.
Hal itu karena ada beberapa nash dalam kitab Allah
yang jelas petunjuknya atas keikusertaan perempuan dalam perkara-perkara yang
termasuk dalam perkara politik dan hukum , disamping adanya penafsiran atas
firman Allah SWT : dan hendaklah kamu tetap dirumahmu, bahwwa perintah itu ada
sebab hukumnya, yang dengan jelas tersirat dalam firman Allah : dan ingatlah
apa yang dibacakan dirumahmu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah nabimu).
(QS. Al-ahzab (33) : 34)
Qatadah dan banyak lagi selain qatadah berpendapat
tentang tafsir ayat ini : “ dan hendaklah kamu ingat nikmat yang dikhususkan
kepada kalian, tidak kepada orang lalin dari manusia, yakni wahyu turun di
rumah-rumah kalian, tidak di rumah manusia lainnya.
Hikmah tetap tinggalnya mereka dirumah kenabian
semampu mereka agar lebih banyak mengambil sunah dan mengajarkannya kepada
manusia. Kita dapati riwayat-riwayat dari istri-istri Rasulullah SAW., dalam
kitab-kitab shahih dan musnad-musnad yang semua itu menjadi tafsiran dan
penjelasan yang memuaskan atas hikmah firman Allah SWT yang berbunyi : dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu..., serta hikmah kekhususan mereka dengan
perintah itu.
2. Sabdanabi
saw. Dalam sebuah hadis shahih : tidak akan beruntung suatu kaum, jika
yang mengatur urusan mereka adalah perempuan.
Hadis
ini sangat sering diucapka oleeh mereka yang berpendapat bahwa islam tidak
menyetujui persamaan perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik,ditambah
dengan dalil-dalil lainnya.
Sebagian
mereka yang berpendapat demikian berakata: “Dua nash ini merupakan nash
yang pasti, menetapkan bahwa kedudukan-kedudukan kepemimpinan dalam suatu
negara, baik ittu sebagai presiden, menteri, anggota majelis permusyawaratan,
tidak bolehdiserahkan kepada perempuan. Berdasarkan dalil inni, dan antara hal
yang menyalahi nash yang jelas dan pasti bahwa perempuan ditempatkan
pada kedudukan itu dalam daulah islamiyah, atau diberikan jalan untuk mencapai
itu. Sebuah negara yang mengaku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sama sekali
tidak boleh melakukan ppelanggaran ini. Kebanyakan ulama membatasi maksud
wewenang yang disebutkan dalam hadis dengan maksud: larangan perempuan memegang
“wewenang besar” atauwewenang umum tertinggi”.
Diantara
ulama itu adalah Ibnu hazm, dia berkata : “boleh saja perempuan memegang suatu
hukum (wewenang), dan ini juga dikatakan oleh Imam Abu Hanifah. Ada riwayat
dari Umar bin Khattab bahwa dia mengangkat Asy-Syifa(seorang perempuan dari
kaumnya) untuk mengatur pasar. Jika ada yang berkata: bukankah Rasulullah Saw
telah bersabda : tidak akan beruntung suatu kaum yang memberikan wewenang
untuk mengatur urusan kepada seorang perempuan. Maka kami akan menjawab: “
beliau mengatakan itu dalam perkara umum, yakni perkara kekhalifahan. Buktinya
adalah sabda Rasulullah Saw.: perempuan (istri) adalah orang yang diberi
wewenang atas harta suaminya, dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang
kewenangannya itu.
Ulama-ulama
madzhab maliki juga membolehkan perempuan menjadi orang yang diwasiatkan dan
orang yang mewakili, dan tidak ada nash yang melarang perempuan untuk
memimpin atau mengatur urusan-urusan. Ath-Thabari berkata : “ perempuan boleh
menjadi hakim secara mutlak dalam segala hal. Siapa yang menolak keputusan
perempuan berarti dia menyamakannya dengan kepemimpnan besar, dan siapa yang
membolehkan hukumnya dalam masalah finansial berarti dia menyamakan dengan kkebolehan menerima
kesaksiannya dalam masalah-masalah finansial. Siapa yang berpendapat hukumnya
berlaku dalam segala hal, berarti dia mengatakan : “sesungguhnya dasar hukumnya
adalah siapasaja yang mampu memberikan penyelesaian masalah antara manusia maka
hukumnya boleh, kecuali apa yang dikhususkan oleh ijma’ dari
kepemimpinan besar. Jika pendaoat-pendapat para ulama fikih berbeda-beda
seoutar keabsahan perempuan ikut serta besama laki-laki dalam mengerjakan
urusan-urusan politik dan pengaturan perkara-perkara berdasarkan dalil-dalil
dalam Al-qur’an dan sunah, itu karena dalil-dali tersebut adalah dali-dalil dzanni (tidak pasti dan tidak
baku)yang mengandung beberapa pemahaman yang berbeda. Hal semacam ini memang
ada secara syara’ dan logika.
Ada
sebagian ulama yang berpendapat bahwa kemampuan perempuan itu kurang, dan
dengan kekurangan itu dia memberikan alasan tidak adanya pesamaan perempuan dan
laki-laki dalam hak-hak politik dalam islam, apalagi wewenang umum(kepemimpinan
tertinggi), sebagaimana yang difatwakan universitas al-azhar ketika dewan fatwa
berpendapat bahwa syariat islam tidak pernah mengakui perempuan mennjadi
anggota parlemen, sebagaimana dewan fatwa juga tidak memberikan hak memilih
untuk perempuan sebab itu membberikan jalan untuk perempuan untuk menjadi
anggota parlemen. Ibnu Abidin berkata : “menetapkan perempauan dalam tugas
kepemimpinan tidak diragukan lagi ketidaksahannya, karena perempuan tidak
memiliki kemampuan untuk memikul tugas itu.adapun yang dia maksudkan dengan
kemampuan itu adalah kemampuan memimpin.
Tidak
ada artinya istilah “kurang kemampuan” bagi para ahli fikih, sebab Imam Abu
Hanifah sendiri membolehkan perempuan memimpin suatu
peradilan dalam beberapa keadaan. juga berkata setelah itu: inilah
pendapat yang jelas dari mazhab, dan sebagaimana yang telah dikatakan oleh
syaikh Musthafa As-Siba’i: “sedangkantugas-tugas lain, selain wewenang umum
tertinggi maka tidak ada dalam islam larangan bagi perempuan untuk memimpin,
sebab adanya kesempurnaan kemampuannya.”
Adapun
hadis yang menyebutkan kurangnya akal perempuan dibanding laki-laki, itu
merupakan isyarat kurangnya dalam kesaksian yang tersebut dalam firman Allah
SWT. : dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatnya.”(QS. Al-baqarah(2): 282)
Sebab,
“kurang” sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat diatas adalah perempuan sering
lupa dalam keadaan-keadaan biologis yang khusus pada mereka yang telah
ditetapkan oleh keputusan Allah dalam penciptaan dan kehidupan, tidak seperti
laki-laki.
Hal
ini terbukti secara illmiah dan realita bahwa kekurangannya ini berpengaruh
pada ingatan,apalagi biasanya saat dia bergelut dengan urusan-urusan finansial
dan simpan-pinjam, dan lain-lain.
Ini
juga adalah pengaruh fitrah dan pembagian spesialisasi dalam peran untuk
kemakmuran bumi dan keberlangsungan hidup di atas bumi antara laki-laki dan
perempuan. Adapun yang ingin kami tekankan di sini adalah bahwa lemahnya
ingatan yang sering terjadi pada perempuan adalah sifat temprer yang bisa
terjadi pada sebagian besar perempuan. Namun itu tidak berarti jauh atau dekat,
kurangnya akal dengan artian secara ilmiah yang ada pada ilmu jiwa modern. Juga tidak berarti kurangnya kemampuan
perempuan sebagaimana yang disebutkan yang kami tidak yaklini akan
kebenarannya. Oleh orang-orang yang dengan alasan kurangnya kemampuan itu tidak
memberikan hak-hak politik untuk perempuan, dan melupakan apa yang ada dalam
al-qur’an dan sunah dari tetapnya hakperempuan dalam musyawrah dan keikut
sertaannya bersama laki-laki dalam membuat perundang-undanganjika perempuan itu
memiliki semua syarat-syaratnya, jika keikutsertaan perempuan dalam amar
ma’ruf nahi munkar, diantaranya menasihati hakim(penguasa).
Agama
adalah nasihat bagi laki-laki dan perempuan secara umum dan apa yang lebbih
dari sekedar nasihat, berupa tugas pengawasan atas para pejabat yang pengawasan
itu satu cabang dari amar ma’ruf nahi munkar juga.
Dua
tugas, berupa pembuatan perundang-undangan dan pengawasan atas wewenang atas
wewenang eksekutif, merupakan tugas “umat khusus” yang diwajibkan oleh Allah
atas umat umum, laki-laki dan perempuan. Untuk membentuknya. Allah SWT
berfirman: dan hendaklah diantara kamu segolongan umatt yang menyeru kepada
kebajikan,menyuruh kepada yang makruf dan mencegah bagi yang mungkar. (QS.
Ali ‘Imran (3): 104)
Memahami
hadis tidak akan beruntung suatu kaum, jika yang mengurusi urusan mereka adalah
perempuan
Hadis
ini merupakan hadis-hadis ahad (hadis yang hanya diriwayatkan dengan
satu riwayat)yang mempunyai bentuk kalimat yang tidak jelas (zhanni). Hadis ini
disabdakan bertepatan dengan satu kejadian historis teretentu, yakni ketika
sampai kepda Rasulullah SAW. Berita bahwa Persia yang saat itu dalam krisis
polotik dan dekadensi moral diperintah oleh seorang ratu yang otoriter dan
kejam. Pertentangan-pertentangan kekuasaan sampai kepada batas perang saudara
terus terjadi, sementara peperangan mereka dengan bangsa arab terus berakhir.
Mereka menyerahkan perkara
kepemimpinan dan kerajaan mereka kepada anak perempuan kisra, karena berpegang
dengan khayalan-khayalan peganisme, bukan berdasarkan pendapat dan musyawarah.
Hadis itu merupakan gambaran dari
keadaan Persia yang sedang krisis, juga merupakan firasat hati dalam ketentuan
Ilahi berdirinya sebuah negara dan kehancurannya. Hadis ini merupakan
pemberitahuan perihal suatu keadaan dan bukan undang-undang (hukum) yang umum
dan lazim. Sesuai dengan petunjuk fikih hadis.
Maka, di sana ada beberapa indikasi
yang mebolehkan pengalihan makna dari makna lahirnya atau mengalihkan
keumumannya mejadi khusus.
Mengangkat seorang pemimpin termasuk
perkara politik yang tidak ada nash nya secara jelas, apalagi larangan
mengangkat perempuan menjadi peminpin jika dia memiliki syarat-syarat menjadi
pemimpin. Adapun yang diperintahkan adalah menyerahkan perkara kepada ahlinya
dan mendahulukan orang yang lebih berkompeten daripada yang kurang berkompeten,
kecuali ada penengah yang bisa disahkan.
Perkara-perkara ini adalah perkara
yang didiamkan (tidak ada komentar) perihalnya dalam hukum-hukum syariat.
Dengan begitu, maka diberlakukanlah sesuai kaidah “menutup jalan kerusakan dan
mencari kemaslahatan”. Hukum-hukum syariat. Dengan begitu, menurut kami tidak
benar hadis itu tidak termasuk sunah undang-undang yang umum lagi lazim, namun
ia hanyalah sebuah pemberitahuan tentang suatu kejadian nyata.
Perbedaan dalam masalah ini menurut
kami termasuk perbedaan yang berhubungan dengan mewujudkan tujuan dan
memasukkan yang substansial ke dalam kaidah menyeluruh yang mencakupnya.
Sesungguhnya ayat yang menyebutkan
tentang perihal para pemimpin dalam kitab Allah, menerangkan kepada kita dua
dasar yag harus ada dalam weweenang
besar agar perkara itu rapi dan teratur dan tidak ada di dalam ayat itu juga
dalam dua dasar itu isyarat syarat “laki-laki”. Dasar pertama, menyampaikan
amanah kepada yang berhak menerimanya, dan dasar kedua, berlaku adil dalam
memutuskan hukum antara manusia.
Allah SWT berfirman: sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanayt kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.
(QS. An-Nisa’(4):58)
Ibnu Hazim berkata: “ayat ini
ditujukan dengan keumumannya kepada laki-laki dan perempuan. Para ulama
berkata: ‘’ayat ini turun perihal ulil amri.” Perlu disinggung juga di sini
hukum tentang pengangkatan perempuan menjadi pemimpin yang tersebut dalam hadis
di atas dan apa yang dipahami oleh para ulama bahwa hadis itu menyatakan
larangan menjadikan perempuan sebagai pemimpin,masih dipertimbangkan. Sebab
pijakan pengeluaran itu menurut kami bukan pada pengangkatan peremppuan menjadi
pemimpin, namun pada rusaknya sistem hukum pada mereka(penduduk persia) dan
tidak menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya juga tidak
menetapkan hukum antara manusia denagan adil, serta menyerahkan perkara mereka
kepada perempuan yang tidak layak untuk memimpin. Mereka memilih anak perempuan
kisra untuk menjadi pemimpin setelah kematian bapaknya. Inilah sebab tidak
beruntungnya kaum yang disebutkan dalam hadis.
Kami tidak
membenarkan pendapat orang yang menjadikan pengangkatan perempuan menjadi
pemimpin itulah yang menjadi pijakan hukum, sebab kitab Allah menyebutkan satu
ayat yang menyalahi pendapat itu. Seperti cerita tentang keberuntungan yang
diraih suatu kaum sekalipun yang memerintah mereka seorang perempuan, yakni
dalam cerita kerajaan saba’ dan ratu mereka yang bernama Balqis, dalam surah
an-Naml.
Sebab keberuntungan mereka telah
dijelaskan oleh beberapa ayat, diantaranya sistem mereka yang diberi dua
kaidah, yakni musyawarah dan keadilan, dan kaidah lainnya yang dapat menegakkan
kerajaan dan memakmurkan rakyat.
Tidak benar pendapat yang
mengaatakan bahwa apa yang disebutkan dalam hadis tentang menjadikan perempuan
sebagai pemimpin adalah sebuah penjelasan baru dari suanh terhadap apa yang
disebutkan al-Qur’an secara global, juga bukan perundang-undangan umum. Namun
itu adalah pemberitahuan dari Rasulullah SAW. Tentang perihal kejadian nyata.
Allahu A’lam.
3. Sabda
Rasulullah Saw: aku tidak pernah melihat diantara orang-orang yang kurang
akalnya dan agamanya yang dapat lebih menarik hati seorang laki-laki dari
kalian(para perempuan).lalu ada seorang perempuan yyang bertanya :”wahai
Rasulullah, kurang akal dan agama itu bagaimana maksudnya?”
Rasulullah Saw menjawab : kurang akal
maksudnya kesaksian dua orang perempuan sebanding dengan kesaksian satu orang laki-laki.
Inilah yang dimaksud dengan kurang akalnya.sedang kurang agama maksudnya, dalam
beberapa malam dia tidak bisa melakukan shalat dan dalam beberapa hari dia
tidak boleh berpuasa di bulan ramadhan. Inilah yang dimaksud dengan kurang
agamanya.
Kurang akal adalah sesuatu yang terjadi
secara fitrah dan secara temporer akibat pengaruh dan situasi yang datang,
seperti datangnya menstruasi, atau masa-masa nifas, atau dalam beberapa masa
kehamilan. Oleh karena itu, hal semacam itu dianggap sebagai suatu kekurangan
yang datang tiba-tiba yang bersifat khusus dan tidak berlangsung lama, dan
sebab itu tidaklah samar dalam kehidupan biologis, sosial, mentalitas, dan
emosional.
Mirip dengan hal itu, lemah ingatan
perempuan disaat-saat seperti yang telah kami sebutkan dahulu, dari
situasi-situasi mendadak yang khusus dialami oleh perempuan. Itu semua
merupakan sebab hukum syar’i dalam kurangnya kesaksian perempuan dibanding
kesaksian laki-laki dalam firman Allah SWT. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari dua orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
(QS.al-Baqarah(2) : 282)
Jelaslah bahwa syarat kesaksian kaum
perempuan seperti ini karena lemahnya kal mereka, bukan karena lemahnya agama.
Maka diketahui juga bahwa adilnya kaum perempuan setara dengan adilnya kaum
laki-laki, dan kurangnya akal mereka-lah yang mengakibatkan kurangnya adil
mereka.
Adapun pendapat yang kuat menurut kami
bahwa pembicaraan mereka tentang akal sebenarnya tentang “ingatan” bukan
“kesadaran”. Perbedaan itu memberitahukan kepada kita setelah adanya kemajuan
ilmu pengetahuan dan apa yang dirincikan dalam “ilmu jiwa”perihal kemampuan-kemampuan
akal dengan beragam macamnya.
Ibnu Qayyim berkata : “perempuan yang
adil seperti laki-laki dalam kejujuran, amanah dan keagamaan, kecuali ketika
ditakutkan terjadi kelupaan, maka diperkuat dengan perempuan lain yang juga
adil. Adapun yang demikian itu menjadikannya lebih kuat dari satu atau dua
laki-laki.
Adapun mengenai kurang agama yang
disinggung dalam hadis adalah hanya dalam hal ibadah sebagaimana yang
digambarkan oleh hadis, dan inipun sifatnya temporer serta bukan sebab
perempuan itu sendiri, namun itu sebenarnya suatu perkara yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT atas kaum perempuan, berdasarkan hikmah-Nya. Firman Allah swT : ingatlah,
menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, tuhan
semesta alam. (QS. Al-A’raf(7):54) firman Allah SWTjuga apakah Allah
yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan
dia maha halus lagi maha mengetahui. (QS. Al-Mulk (67) : 14)
Hal yang penting, hadis ini petunjuknya
sudah amat jelas, yakni apa yang disebutkannya itu hanya terbatas pada
kurangnya fungsi akal dan kurang ibadahnya karena ada sesuatu yang telah Allah
tetapkan atas mereka kekurangan itu adalah kekurangan yang bersifat mendatang
dan temporer yang tidak mengurangi nilai keagamaannya dan tidak mengurangi
kemampuan akalnya, juga keadilannya.
Itulah maksud yang diungkapkan oleh ibnu
Hazm dalam perkataannya : “ini tidak berarti mengharuskan kurangnya keutamaan,
kurangnya agama dan akalnya dalam hal-hal yang selain hal ini (ibadah dan
fungsi akal). Sebab, kita telah mengetahui bahwa kaum perempuan yang lebih
utama (lebih baik )dari begitu banyak lakilaki, juga lebih sempurna agamanya
dan akalnya dari mereka. Maka, yakin benar apa yanng dimaksudkan dalam hadis
itu adalah hanya dalam hal kesaksian dan kurangnya ibadah karena masa haid, dan
itu tidaklah mengurangi keutamaan.”
Barangkali apa yang kami sebutkan dalam
hadis ini, dalam fikih hadis dan petunjuknya dapat membenarkan kita untuk
mengatakan salah kepada orang yanng berpendapat bahwa islam menolak prinsip
persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik, dan Islam
menengah akan hal itu. Diantaranya adalah hak mencalonkan diri dan hak memilih.
4. Ijma’
atau kejadian-kejadian historis dahulu : di antara dalil yang dikemukakan oleh
mereka yag berpendapat bahwa tidak ada persamaan antara perempuan dan laki-laki
dalam hak-hak politik dan menengahnya dari “kepemimpinan tertinggi” adalah
bahwa kejadian-kejadian historis dahulu dan perkara yang berlaku pada kaum
muslimin di masa awal islam tidak pernah mengenal perempuan masuk dalam anggota
Ahlul Hilli wal aqdi, sekalipun diketahui keikutsertaan mereka dalam memberikan
usulan atau mengoreksi khalifah, dan hal itu (perempun tidak masuk dalam
anggota Ahlul Hilli wal aqdi) dianggap sebuah ijma’ sebelum ijma’ itu dikenal
oleh ulama-ulama ushul sebagai sumber hukum setelah al-quran dan sunah, yakni
ijma’ Ahlul Hilli wal aqdi.
Ijma’ umat dapat menjadi hujjah
(dalil), dan ketika tidak ada alternatif lain untuk mengumpulkan seluruh
individu rakyat, maka itu bisa terwakili dengan beberapa orang yang mewakili
rakyat, maka itu bisa terwakili dengan beberapa orang yang mewakili rakyat.
Ijma’ diberlakukan dalam perkara-perkara yang tidak ada nash-nya, dan ia
adalah kesepakatan para pakar dalam perkara yang mengandung kemaslahatan. Namun
para pakar ini harus menyandarkan argumentasi mereka kepada dalil-dalil dari
alqu’an dan sunah yang mereka anggap sebagai sandaran yang benar yang
memutuskan bahwa perempuan tidak mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam
hak-hak plitik, baik haknya untuk memilih atau haknya untuk menjadi anggota
parlemen, atau haknya pada tugas-tugas yang berhubungan dengan kewenangan
pemerintahan seperti kementrian, apalagi kepemimpinan sebuah pemerintahan
seperti presiden, ataupun seperti yang diungkapkan oleh Al-Maududi: “ini adalah
dua hadis yang sudah pasti yang memutuskan bahwa jabatan-jabatan kepemimpinan
dalam sebuah negara, baik sebagai presiden, menteri atau anggota majelis
permusyawaratan, ataupun dalam beragam administrasi kemaslahatan pemerintah,
tidak boleh diserahkan kepada perempuan. Dengan demmikian dan diantara sikap
menyalahi nash-nash yang jelas bahwa perempuan diberikan hak pada
jabatan-jabatan itu yang dicantumkan dalam undang-undang negara islam, atau
memberikan jalan kepada perempuan untuk mencapainya. Melakukan tindakan
menyalahi nash sama sekali tidak boleh dilakukan oleh sebuah negara yang
menyatakan dirinya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Al-maududi menyatakan bahwa
orang-orang yang menyalahi pendapat ini adalah orang-orang yang menyebarkan
Islam dengan sesuatu yang tidak ada pada Islam, dan dia mendesak mereka untuk
tidak mengada-ngada terhadap Islam tanpa bukti yang sama sekali bertentangan
dengan sejarah umat terdahulu yang terkenal dengan kebaikannya.
Ini adalah di antara hal-hal yang
menguatkan sudut pandang lembaga fatwa Universitas Al-Azhar yang mendasarkan
pandangannya kepada apa yang berlaku dan telah dipraktikkan di masa Rasulullah
SAW, dan masa para khalifah ar-Rasyidin, sebab tidak ada buktu kuat sebagaimana
yang dikatakan oleh mufti,bahwa ada satu kewenangan umum diserahkan kepada
perempuan, padahal sebenarnya di masa awal-awal Islam ada di san
budayawati-budayawati dan perempuan-perempuan agung, juga ada beberapa perempuan
yang melebihi begitu banyak laki-laki kaum muslimin, seperti para ummul
mukminin “istri-istri Rasulullah saw”.
Koreksi
kami terhadap dalil yang diutarakan oleh mereka yang berpendapat demikian,
beberapa bukti-bukti kejadian-kejadian historis dahulu, menyimpulkan bahwa itu
bukanlah dalil yang benar dan tepat untuk menegah hak-hak politik perempuan,
dimana tidak ada nash yang jelas dan pasti baik dari al-quran dan sunah
yang menyatakan penegahan itu. Sedangkan kejadian-kejadian historis dahulu itu,
tidak termasuk ijma’ menurut para ulama ushul, di mana itu bukan
termasuk ijtihad yang musyawarah jalan keluarnya dan dasarnya adalah
meminta pendapat usulan ulil amri yyang mana mereka adalah pakar dan ahli ijtihad
yang sudah dikenal, dan kesepakatan mereka hanya dalam masalah-masalah yang
tidak ada nash-nya. Juga bukan termasuk ijma’ yang digambarkan
dengan kesepakatan seluruh rakyat, para mujtahid-nya, orang-orang
khususnya dan orang-orang biasanya. Itu bukanlah ijma’ yang dianggap
sebagai satu sumber dari sumber-sumber hukum. Namun itu hanyalah sebuah ijma’
(kesepakatan) atas sesuatu yang telah diketahui daripada apa yang telah
disepakati oleh umat, karena adanya dalil kuat yang tidak boleh di sana ijtihad.
Jika
di antara dasar ijma’ adalah kesepakatan pemikiran dalam memprediksi
kemaslahatan.dan kemaslahatan ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman,
tempat dan keadaan. Maka bagi para mujtahid itu atau para mujtahid
yang datang stelahnya, jika situasi dan kondisi telah berubah, boleh untuk
mengoreksikembali dan merevisi ijma’ terdahulu berdasarkan situasi dan
kondisi yang baru. Kesepakatan atau ijma’ kedua merupakan ijma’ yang
mengakhiri ijma’ pertama dan apa yang diputuskan dalam ijma’
pertama. Ijma’ kedua inilah yang mejadi hujjah atau dalil yang
harus diikuti, dan bila kemudian ada kemaslahatan baru maka itulah syariat
Allah.
Di
antara para penulis kontemporer yang megatakan bahwa di antara hak kaum
perempuan dalam syariat Islam adalah perempuan boleh memegang tugas-tugas
negara, adalah prof. Muhammad Izzah Darwarah. Dia berkata : “jika perempuan di
masa-masa Islam pertama tidak ikut serta dalam urusan-urusan negara secara
luas, maka alasannya adalah tabiat kehidupan sosial saat itu, dan itu bukan
berarti menonaktifkan hukum-hukum Al-Qur’an, sebab kitab Allah dan sunah
Rasul-Nya adalah sumber syariat dan hukum-hukum Islam di setiap masa dan
lingkungan. Jadi, masalahnya sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Abdul Hamid
Mutawalli juga adalah “masalah sosial, etika dan politik, bukan masalah
keagamaan. Hal itu berarti kita harus menempatkan masalah di tempatnya yang
benar. Dengan demikian, wajib mencari penyelesaiannya berdasarkan situasi
sosial, politik, ekonomi, dan opini mayoritas publik di suatu zaman dan di
suatu tempat, juga berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan dan kesadaran, dengan tetap memperhatikan etika-etika
umum yang telah ditetapkan oleh Islam dalam komunitasnya, yang mengatur gerak
kehidupan di dalamnya di segala bidang dan yang mengatur ketentuan-ketentuan
keikutsertaan perempuan muslimah dalam kehidupan ssial. Di antaranya etika
etika bersama antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, dan etika yang khusus
untuk kaum perempuan. Semua itu telah ditetapkan oleh al-quran dan dijelaskan
oleh sunah.
Dengan
demikian, kita telah selesai mendiskusikan dalil-dalil terpenting yang dipergunakan
oleh mereka yang berkata bahwa Islam tidak mengakui persamaan antara perempuan
dan laki-laki dan hak-hak politik secara umum, juga tidak memngakui hak
peempuan dalam “memilih” dan hak menjadi anggota dewan legislatif secara
khusus, juga menjabat di kementrian apalagi “kewenangan umum”, dengan berbagai
perbedaan antara penganut pendapat ini sendiri dalam hal ‘ apa saja yang
dilarang dari hak-hak politik ini dan apa saja yang dilarang’ berdasarkan
dalil-dalil yang mereka paparkan juga pemahaman dan sudut pandang yang mereka
anggap benar.
Keringkasan
dari diskusi ini dan merupakan buah dari apa yang telah dipaparkan adalah bahwa
masalah ini termasuk dalam bagian Al-Adat atau perkara-perkara adat yang hanya
mempertimbangkan makna dan dasarnya adalah sebab dan kiasan, bukan bagian ibadat
yang dasarnya adalah ibadah dan komitmen dengan nash , yakni jika dalam
bagian ibadat terdapat unsur ibadah /penyembahan maka wajib mengikuti
(berdasarkan) nash.
Dengan
demikian pula kita sepakat dengan mereka yang berpendapat bahwa masalah itu
kebanyakannya adalah masalah sosial, etika, dan politik, bukan masalah
keagamaan, dan dalam hal ini kita harus menempatkan masalah di tempatnya yang
benar. Hal 144
Pendapat kami dalam masalah hak-hak politik
perempuan dalam islam
Sebelum
kami masuk ke dalam tema ini, penting terlebih dahulu memperhatikan tiga
perkara berikut.
Pertama,
pembicaraan kita tentang hak-hak politik perempuan dalam islam maksudnya adalah
bahwa ada beberapa hak yang telah ditetapkan oleh Oleh Allah untuk perempuan
dalam masyarakatnya yang memiliki beberapa elemen-elemen utama dan ciri-ciri
khas yang membedakannya dari masyarakat lainnya. Allah juga tela menyiapkan
untuk perempuan iklim yang baik untuk melakukannya secara nyata di negara
muslim dan dia mengikatnya dengan beberapa hukum dan etika yang juga mengikat
masyarakat dan nnegara di berbagai sisi
kehidupan dan aktivitas manusia, baik keagamaan, politik, dan sosial.
Islam
adalah agama yang komprehensif dan syariat yang tidak bisa dibagi-bagi.
Artinya, ketika islam telah menetapkan untuk perempuan apa yang telah ia
tetapkan dari hak-hak politik, yang di antaranya adalah ikut berpartisipasi
dalam urusan-urusan umum, Islam menetapkan itu untuk menegakkan hukum di negara
muslim berdasarkan kaidah musyawarah, prinsip persamaan hak dan kewajiban bagi
setiap warga negaranya, prinsip meminta pertanggungjawaban penguasa, prinsip
keadilan, dan lain-lain dari prinsip-prinsip medasar yang dijadikan islam
sebagai dasar-dasar yang baku dalam sistem hukum islam.
Oleh
karena itu, syariat islam diciptakan untuk kemaslahatan hamba secara mutlak dan
umum. Syariat islam bukanlah kumpulan dari beberapa hak teoritis namun dia
merupakan kumpulan dari tugas-tugas sosial praktis.
Semua
hukum menetapkan bahwa setiap hak pasti lawannya kewajiban. Oleh sebab itu,
santer di kalangann ulama syariat bahwa definisi agama adalah “ketetapan Illahi
yang ditujukan kepadaorang-orang yang
mepunyai akal sehat, agar mereka bisa memilih apa yang baik untuk mereka
sekarang dan masa yang akan datang”.
Kedua,
nash-nash yang qat’i (pasti) yang ada dalam al-qur’an dan nash-nash yang ada
dalam hadis tentang hak-hak perempuan dan kewajibannya, keduanya saling
enjelaskan dan saling menyempurnakan. Nash-nash itu dan tujuan-tujuannya, tidak
boleh dipahami kecuali dalam koridor dasar-dasar syariat dan maksud tujuannya,
juga dalam koridor fiqih al-quran dan sunah.
Contohnya, makna Ad-
Darajah(tingkatan lebih) yang dijadikan untuk kaum laki-laki atas kaum
perempuan dengan firman-Nya: kaum
laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum perempuan
(istri). (QS. Al-Baqarah(2) : 228)
Seperti yang dikatakan
olehn penulis Tafsir Al-manar : “ ayat ini merupakan sebuah kalimat yang
agung sekali. Walau ayat ini pendek namun ia mengumppulkan apa yang tidak bisa
diterangkan kecuali dengan menghabiskan begitu banyak lembaran buku. Ia
merupakan kaidah menyeluruh yang menuturkan bahwa perempuan sama dengan
laki-laki dalam semua hak, kecuali satu perkara yang diungkapkan dengn
firman-Nya kaum laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan lebih tinggi
daripada kaum perempuan (istri).
Ayat ini mewajibkan
satu hal atas perempuan dan mewajibkan beberapa hal atas laki-laki. Sebab,
“tingkatan kelabihan” ini adalah tingkatan kelebihan politik dan melaksanakan
kemaslahatan yang ditafsirkan dengan
firman-Nya: kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(perempuan) dan karena mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan)
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.(QS.
An-Nisa’(4): 34)
Kehidupan berumah
tangga adalah kehidupan sosial(kelompok). Dan setiap kelompok harus memiliki
seorang pemimpin. Setiap kelompok pasti akan terjadi perbedaan pendapat, keinginan, dan tuntutan
dalam beberapa perkara. Kemaslahatan mereka tidak akan terwujud kecuali apabila
mereka mempunyai pemimpin yang pendapatnya dijadikan ssebagai rujukan dalam
setiap perselisihan, agar masing-masing dari mereka tidak melakukan apa yang
bertentangan, yang akan mengakibatkan hancurnya kesatuan dan persatuan kelompok
dan akan merusak sistem.
Laki-laki lebih berhak
atas kepemimpinan sebab dia lebih mengetahui akan kemaslahatan dan lebih mampu
melaksanakan dengan kekuatan dan hartanya. Oleh sebab itulah dia yang
diperintahkan menurut syara’ untuk menjaga perempuan dan memberi nafkah
kepadanya. Sedang perempuan diperintahkan untuk taat kepadanya dalam hal-hal
yang makruf.
Pemahaman Al- Qawamah
tidak berpengaruh pada perempuan itu adil dan kemampuannya semppurna, ddan
persamaannya dengan laki-laki tetap ada. Ayat yang menyebutkan Al-Qawamah (kepemimpinan)
laki-laki atas perempuan, hanya ,enetapkan hal itu dalam kehidupan berumah
tangga. Laki-laki adalah tuan keluarga dan dia bertanggung jawab di dalamnya,
sesuai dengan firman-Nya : dan mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka, menunjukkan bahwa maksud kepemimpinan itu adalah
kepemimpinan dalam keluarga.
Contohnya lagi, nash
Al-Quran : bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. (QS.
An-Nisa(4):11) tafsir ayat ini dalam Islam sebagaimana yang ada dalam Al-quran
sendiri adalah sebab laki-laki memerlukannya untuk memberi nafkah kepada
dirinya, istrinya, dan anaknya. Sedang perempuan, dia hanya menafkahi dirinya
sendiri, dan jika dia bersuami maka nafkahnya ditanggung oleh suami.
Al-qur’an juga
menyebutkan satu sebab hukum pembagian warisan seperti ini: “sesungguhnya Allah
telah memberikan kelebihan kepada kaum laki-laki atas kaum peremmpuan dalam
asal kejadian dan memberikan kepada kaum lakilaki apa yanng tidak
diberikan kepada kaum perempuan dari kemampuan dan kekuatan.
Perbedaan antara kewajiban dan hukum adalah pengaruh dari perbedaan fitrah dan
kesiapan.
Dasar perbedaan antara
dua jenis manusia ini adalah laki-laki bertanggung jawab untuk orang lain
sedangkan perempuan tidak. Ini menuntut adanya keistimewaan untuk laki-laki
dalam bagiannya, sebab dasar ini kekal selamanya.
Laki-laki bertanggung
jawab dan wajib memberi nafkahsedang perempuan tidak memiliki tanggung jawab
memberi nafkah kecuali untuk memberi nafkah dirinya sendiri, jika tidak ada
orang (suami) yang menanggung nafkahnya. Ini adalah dasar dan asaldalam Islam
untuk membangun masyarakat muslim.
Ketiga, “tidak akan
mengenal Islam orang yang tidak pernah mengenal jahiliah.” Ini adalah perkataan
Umar bin Khatab. Dia mengungkapkan tentang transformasi reformasi besar yang
diciptakan oleh Islam dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dengan
petunjuk langit dan dengan diturunkannya al-quran kepadabbeliau, dan dengan itu
semua Rasulullah memberikan peringatan kepada keluarga beliau dan orang yang
lahir kepada beliau.
Bangsa Arab dari
kejahilan, paganisme, kebobrokan mereka, kemudian pindah dan berubah menjadi
sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia dengan sebab masuknya mereka ke
dalam agama Allah, mengamalkan kitab mereka dan sunah Nabi SAW.
Peran kaum perempuan
dalam transformasi reformasi besar ini telah jelas disebutkan dalam nash-nash
Al-quran dan hadis-hadis shahih serta berita-berita yang dapat
dipercaya, dan yang termasuk dari pembahasan kita dari peran ini adalah apa
yang berhubungan dengan hak-hak
politiknya. Namun kami melihat dalam isyarat ini ada sesuatu yang
mendukung geraka emansipasi wanita di zaman sekarang.
Umar bin khatab berkata
:”Demi Allah, di masa jahiliah dahulu, kami tidak pernah memperhitungkan
perempuan dalam satu perkara pun, hingga Allah menurunkan wahyu perihal mereka dan memberikann bagian
untuk mereka.
Pendapat dan
argumentasi kami
Apa yang telah kami
paparkan dari beberapa catatan terhadap beberapa argumentasi mereka yang
berkata bahwa islam tidak mengakui persamaan antara perempuan dan laki-laki
dalam hak-hak politik, melarang memberinya tugas-tugas kepemimpinan yang
termasuk dalam kewenangan, terutama kewenangan umum, yaitu kepemimpinan
tertinggi sebuah negara, dan tidak memberinya hak-hak memilih dan hak dipilih
untuk menjadi anggota parlemen atau dewan permusyawaratan, menunjukkan bahwa
kami bersama pendapat yang lain. Yang berbeda dengan pendapat diatas. Sekalipun
para penganut pendapat di atas memberikan beberapa ketentuan untuk tidak adanya
larangan itu, dan beberapa ketentuan itu juga merupakan sumber perselisihan
antara mereka.
Di antara perselisihan
itu adalah pengecualian jabatan kepemimpinan tertinggi negara dari hak-hak itu,
dan seperti galih segolongan dari mereka bahwa masyarakat belum siap untuk
menerima perempuan melakukan hak-hak politiknya, seperti hak memilih dan hak
dipilih menjadi anggota parlemen, juga menduduki jabatan kementrian atau
pemerintahan sekalipun ada maslahatnya dan tidak ada yang pengahalangnya.
Farid
Abdul. 2005.” Fikih politik Islam” Jakarta.
Amzah. Hal: 122